Jakob Oetama: Pendiri Kompas Gramedia - Warta Katolik

Breaking

Bagi Yang Ingin Kegiatannya Dipublikasikan Di Blog Ini, Mohon Hubungi WA No. 081345227640

Jumat, 30 Maret 2018

Jakob Oetama: Pendiri Kompas Gramedia

Jakob Oetama
Tiap tanggal 27 September, salah satu pendiri Kompas Gramedia Jakob Oetama yang lahir tahun 1931 ini selalu bersyukur atas ulang tahunnya. Tulisan ini merupakan refleksi atas warisan nilai yang dihidupi Jakob, yang menjadi tonggak tidak hanya bagi jurnalisme yang digeluti para wartawan Kompas dan grup Kompas Gramedia tetapi juga warisan yang mewarnai perjalanan jurnalisme Indonesia.

Jakob tidak meninggalkan sebuah warisan nilai dalam sebuah tuturan yang sistematis. Beragam pandangan dan gagasannya tentang jurnalisme dan menjadi wartawan disampaikannya secara lisan dalam sejumlah kesempatan saat berinteraksi dengan wartawan-wartawannya.

Tulisan ini mencoba merangkum ucapannya yang disampaikannya secara sporadis sepanjang perjalanannya membesarkan harian Kompas dan Grup Kompas Gramedia.

Bagi Jakob Oetama, pendiri Kompas Gramedia, kebesaran nama dan cerita sukses perjalanan hidupnya bukanlah semata-mata karena kehebatan dirinya, melainkan providentia Dei, bahasa latin yang berarti penyelenggaraan Ilahi.

Providentia Dei adalah kata-kata yang selalu ia selipkan tiap kali ia berkisah tentang pengalaman hidupnya, terutama tentang perjalanan panjang membesarkan Kompas Gramedia.

Di balik makna providentia Dei tersirat kerendahan hati luar biasa. Dia mengimani, Tuhanlah yang menuntun langkah hidupnya melalui berbagai peristiwa kebetulan dalam hidup.

Nama aslinya adalah Jakobus Oetama. Ia lahir di Desa Jowahan, 500 meter sebelah timur Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, 27 September 1931.

Jakob adalah putra pertama dari 13 bersaudara pasangan Raymundus Josef Sandiyo Brotosoesiswo dan Margaretha Kartonah. Panggilan kecilnya adalah Raden Bagus To.

Ia mengawali kariernya sebagai seorang guru, meneruskan profesi ayahnya. Brotosoesiswo adalah seorang guru Sekolah Rakyat yang selalu berpindah-pindah tugas. Terakhir, Brotosoesiswo menetap di Sleman hingga meninggal tahun 1975.

Lulus seminari menengah, sekolah calon pastor setingkat SLTA, Jakob melanjutkan ke seminari tinggi. Hanya tiga bulan di seminari tinggi, Jakob memutuskan keluar. Ia ingin menjadi seorang guru seperti ayahnya.

Ayahnya kemudian meminta Jakob pergi ke Jakarta menemui salah seorang kerabat mereka yang bernama Yohanes Yosep Supatmo. Belum pernah ia bertemu muka dengan kerabat ayahnya itu.

Petunjuknya sederhana: Jakob diminta datang ikut misa pagi di Gereja Vincentius Jakarta. Supatmo selalu ikut misa pagi di gereja itu. Tidak sulit mencari Supatmo di gereja itu.

Supatmo bukan seorang guru, tetapi baru saja mendirikan Yayasan Pendidikan Budaya yang mengelola sekolah-sekolah budaya. Jakob pun mendapat pekerjaan, tetapi bukan di sekolah yang didirikan Supatmo, melainkan di SMP Mardiyuwana, Cipanas, Jawa Barat. Ia mengajar di sana tahun 1952 hingga 1953.

Dari Cipanas, Jakob pindah ke Sekolah Guru Bagian B (SGB) di Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan, tahun 1953-1954, lalu pindah lagi ke SMP Van Lith di Jalan Gunung Sahari, Jakarta Pusat, tahun 1954-1956.

Sekolah-sekolah itu di bawah asuhan para pastor Kongregasi Ordo Fratrum Minorum (OFM) yang biasa disebut Fransiskan. Jakob tinggal di kompleks Sekolah Vincentius di Kramat Raya, Jakarta Pusat, yang sekarang menjadi kompleks Panti Asuhan Vincentius Putra.

Sambil mengajar SMP, Jakob mengikuti kuliah, atau tepatnya kursus B-1 Ilmu Sejarah, lulus. Ia kemudian melanjutkan kuliah ke Perguruan Tinggi Publisistik Jakarta dan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada hingga tahun 1961.


Dari guru menjadi wartawan

Persentuhannya dengan dunia jurnalistik terjadi ketika ia mendapat pekerjaan baru sebagai sekretaris redaksi mingguan Penabur dan berhenti mengajar pada tahun 1956. Tugas hariannya di mingguan itu adalah menjalankan peran sebagai pemimpin redaksi.

Berkat belajar Ilmu Sejarah, tumbuh minatnya untuk menulis. Di Penabur, Jakob menulis apa saja, selalu tanpa nama, dari mulai liputan lapangan sampai ulasan-ulasan sosial, politik, dan budaya.

Minat dan kepekaan Jakob pada masalah-masalah manusia dan kemanusiaan yang kemudian menjadi spiritualitas Kompas diakuinya sebagai warisan yang dipupuk selama pendidikan di seminari menengah.

“Saya sangat terbantu dan diperkaya oleh kepekaan humaniora yang terpupuk dan berkembang berkat pendidikan di seminari menengah,” kata Jakob sebagaimana dituturkan dalam buku Syukur Tiada Akhir.

Warisan hati dari pendidikan itu kemudian diperkaya oleh minatnya untuk mendalami ilmu-ilmu kemanusiaan, seperti falsafah dan sastra klasik, lalu ditunjang oleh kegemarannya mendalami secara komprehensif masalah-masalah sosial budaya dan sosial ekonomi.

Meski cita-cita menjadi guru mulai pudar, hal itu tidak berarti goyah. Lulus B-1 Sejarah dengan nilai rata-rata 9, Jakob direkomendasikan memperoleh beasiswa di University of Columbia, Amerika Serikat, oleh salah satu guru sejarahnya, seorang pastor Belanda, Van den Berg, SJ. Arahannya, Jakob memperoleh gelar PhD dan kelak menjadi sejarawan atau dosen sejarah.

Ia mulai bimbang, menjadi wartawan profesional atau guru profesional?

Ia sempat diterima menjadi dosen di Universitas Parahyangan (Unpar), Bandung, dan disiapkan rumah dinas bagi keluarganya di kota kembang itu. Unpar juga sudah menyiapkan rekomendasi setelah Jakob beberapa tahun mengajar di sana, yakni ia akan dikirim untuk meraih gelar PhD di Universitas Leuven, Belgia.

Titik balik kebimbangan itu adalah perjumpaannya dengan Pastor JW Oudejans OFM, pemimpin umum di mingguan Penabur. Suatu ketika, Oudejans bertanya kepada Jakob tentang profesi yang kelak akan ditekuninya. Jakob menjawab ingin jadi dosen. Oudejans menasihati, “Jakob, guru sudah banyak, wartawan tidak.”

“Itulah titik balik ke masa depan yang harus saya gulati. Menjadi wartawan profesional, bukan guru profesional,” kata Jakob.

Bertemu PK Ojong dan mendirikan Intisari

Perjumpaan pertama Jakob dengan Petrus Kanisius Ojong terjadi tahun 1958 dalam sebuah kegiatan jurnalistik. Saat itu, Ojong memimpin harian Keng Po dan mingguan Star Weekly, sedangkan Jakob di Penabur.

Mereka selanjutnya kerap bertemu dalam kegiatan sosial, politik, dan budaya, seperti di lingkungan Ikatan Sarjana Katolik (Iska), program asimilasi Badan Komunikasi Penghayat Kesatuan Bangsa (Bakom PKB), dan di sejumlah acara Partai Sosialis Indonesia.

Jakob mengingat, pertemuan-pertemuannya dengan Ojong kemudian terjadi rutin begitu saja. Awal tahun 1960-an situasi, politik kala itu terasa begitu mengekang. Partai Komunis berpengaruh besar dalam pemerintahan.

Harian Keng Po diberangus pemerintah tahun 1958, sementara Star Weekly mengalami nasib serupa pada tahun 1961. Keduanya tidak disukai pemerintah kala itu karena sikap kritisnya.

Suatu hari, sambil menonton sendratari Ramayana di Prambanan, Jawa Tengah, dilanjutkan dengan makan ayam goreng Mbok Berek, Ojong mengajak Jakob mendirikan sebuah majalah baru yang tujuannya untuk menerobos kekangan informasi yang saat itu didominasi oleh pemerintah di bawah kendali komunis.

Pembicaraan itu berlanjut dengan mendirikan majalah Intisari pada tahun 1963. Misi majalah itu adalah mendobrak kekangan politik isolasi yang dilakukan pemerintah. Mereka merasakan, situasi kala itu membutuhkan sebuah media yang memuat artikel-artikel human story yang membuka mata dan telinga masyarakat.

Intisari terbit pertama pada 17 Agustus 1963 dengan ukuran 14 x 17,5 sentimeter, hitam putih tanpa kulit muka, tebal 128 halaman. Edisi perdana dicetak 10.000 eksemplar dengan harga jual per eksemplar Rp 60 untuk Jakarta dan Rp 65 di luar Jakarta. Nama dan logo Intisari sama persis dengan rubrik halaman pertama yang diasuh Ojong di Star Weekly yang ditutup.

Ini majalah serius. Keduanya menggaet orang-orang hebat zaman itu untuk menulis di majalah baru mereka. Sejumlah penulis di edisi perdana antara lain Nugroho Notosusanto (kelak menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di era Orde Baru), Soe Hok Djin yang kemudian berganti nama menjadi Arief Budiman, Soe Hok Gie adik Soe Hok Djin yang dikenang sebagai aktivis mahasiswa 1966, dan Kapten Ben Mboi (kelak menjadi Gubernur Nusa Tenggara Timur).

Mendirikan Kompas

Saat tengah asyik-asyiknya menggulati Intisari, Menteri Perkebunan Frans Seda dari Partai Katolik meminta keduanya untuk mendirikan sebuah surat kabar Partai Katolik. Seda menginginkan adanya koran Partai Katolik karena permintaan Menteri/Panglima TNI AD Letjen Ahmad Yani. Alasannya, hampir semua partai kala itu memiliki corong partai.

Perlu juga dipahami konstelasi politik saat itu. Ada tiga kekuatan politik besar. Pertama adalah Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi dan Kepala Pemerintahan yang mengonsolidasikan kekuatan dan kekuasaan politiknya melalui pengembangan demokrasi terpimpin.

Kedua adalah ABRI, yang berusaha meredam kekuatan politik PKI melalui kerja sama dengan organisasi-organiasi masyarakat dan politik non atau anti-komunis. Sementara itu, yang ketiga adalah Partai Komunis Indonesia yang merapat ke Bung Karno.

Ide Ahmad Yani, Partai Katolik perlu memiliki sebuah media untuk mengimbangi kekuatan PKI.

Ojong dan Jakob kemudian bersepakat mendirikan sebuah koran yang diharapkan menjadi sebuah jalan tengah. Koran itu, meskipun lahir dari inisiatif tokoh Partai Katolik, bukanlah corong partai. Koran itu harus berdiri di atas semua golongan, oleh karena itu harus bersifat umum, didasarkan pada kenyataan kemajemukan Indonesia, harus menjadi cermin realitas Indonesia, mengatasi suku, agama, ras, dan latar belakang lainnya.

“Dia harus mencerminkan miniaturnya Indonesia,” kata Jakob.

Mulanya, nama yang dipilih andalah “Bentara Rakyat”. Artinya, koran itu memang dimaksudkan untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia rakyat. Motonya pun dipilih “Amanat Penderitaan Rakyat”. Koran itu bukan koran partai, melainkan sarana untuk kemajuan Indonesia yang berpijak pada kemajemukannya.

Saat Frans Seda bertemu Bung Karno, Si Bung Besar tidak setuju dengan nama “Bentara Rakyat”. Bung Karno berkata, “Aku akan memberi nama yang lebih bagus...”Kompas”! Tahu toh, apa itu kompas? Pemberi arah dan jalan dalam mengarungi lautan dan hutan rimba!”.

Jadilah nama pemberian Bung Karno itu digunakan sebagai nama koran hingga sekarang.

Dipaksa menjadi pengusaha

Dalam perjalanan membesarkan Intisari dan Kompas, Jakob dan Ojong berbagi tugas. Jakob mengurusi editorial, sementara Ojong bisnis.

Namun kemudian, situasinya menjadi tidak mudah bagi Jakob. Setelah 15 tahun kebersamaannya dengan Ojong membangun Kompas, Ojong meninggal mendadak dalam tidurnya tahun 1980.

Kepergian Ojong meninggalkan beban berat. Beban itu tiba-tiba terpikul di pundak Jakob. Jika selama ini konsentrasinya adalah mengurusi bidang redaksional, ia kini juga “dipaksa” untuk mengurusi aspek bisnis.

Kenang Jakob dengan rendah hati, “Saya harus tahu bisnis. Dengan rendah hati, saya akui pengetahuan saya soal manajemen bisnis, nol! Tapi saya merasa ada modal, bisa ngemong! Kelebihan saya adalah saya tahu diri tidak tahu bisnis.”

Kerendahan hati bahwa ia tidak tahu bisnis itulah yang kemudian mengembangkan Grup Kompas Gramedia menjadi sebesar sekarang. Kerendahan hati ini pula yang membuatnya tidak merasa jemawa atas apa yang dicapainya. Ia tidak pernah merasa kaya di antara di antara orang miskin, juga tidak merasa miskin di antara orang kaya.

Ia pernah ditawari menjadi menteri di era Soeharto, tetapi ditolaknya. Ia merasa lebih bahagia menjalani misi hidupnya dengan mewartakan kemanusiaan dan ke-Indonesiaan yang majemuk melalui tulisan-tulisannya sebagai wartawan. Ia lebih senang dan bangga disebut wartawan, daripada pengusaha.

Belakangan, di usianya yang sudah kepala delapan, kalimat yang tidak pernah putus diucapkannya di setiap kesempatan ia bercerita tentang perjalanan hidupnya adalah, “Bersyukur dan berterima kasih. Semuanya adalah providentia Dei, penyelenggaraan Ilahi.”

Kepada para wartawannya, Jakob kerap berpesan bahwa wartawan itu bukanlah sebuah pekerjaan, apalagi pekerjaan yang mengejar karier. Bukan, bukan itu. Menjadi wartawan itu adalah panggilan (vocatio). 

Demi panggilan profesi ini, kebesaran jiwa seorang wartawan harus melebihi kebesaran lembaga atau perusahaan tempat ia mengabdikan diri.

Oleh karena itu, setiap wartawan harus mengembangkan jiwa panggilannya ini. Ia tidak boleh menjadi pribadi yang mati. Sebaliknya, ia harus terus berkembang, mengembangan dirinya, menghidupi panggilan jiwanya, dan jika diperlukan berani mengambil risiko untuk menyuarakan apa yang perlu disuarakan.


Apa yang harus disuarakan oleh wartawan?

Manusia dan kemanusiaan. Wartawan itu bukan sekadar tukang menulis berita. Lebih dalam dari itu, setiap berita yang ditulisnya merupakan pengejawantahan panggilan jiwa untuk memanusiakan manusia dengan segala keagungan dan kekerdilannya.


Manusia dan kemanusiaan seperti apa yang perlu disuarakan?

Awalnya, Jakob senang menggunakan istilah “humanisme transendental”. Belakangan, sejak tahun 2000-an, ia lebih sering memakai kata “kemanusiaan yang beriman”. Maknanya sama, manusia yang berpusat pada yang Ilahi.

Agama boleh berbeda, tetapi kemanusiaan itu satu. Setiap agama sejatinya adalah memperjuangkan kemaslahatan manusia. Oleh karena itu, saling menghormati dalam kemajemukan perlu dijaga agar setiap tradisi religius bisa mengembangkan perjuangan kemanusiaannya yang akan memperkaya hidup manusia.

Cornelius Antonius Maria (Kess) de Jong mengelaborasi falsafah ini dalam disertasinya tentang “Kompas 1965-1985” guna memperoleh gelar doktor dari Universitas Nijmegen, Belanda, tahun 1990.

Menurut De Jong, humanisme dan humanitas merupakan titik berangkat agar bisa melayani semua kelompok. Kemanusiaan menjadi sempurna kalau diterjemahkan dalam nilai-nilai Ilahi, yakni iman kepada Tuhan. Iman (faith) lebih dari sekadar kepercayaan (belief), yang berarti di sanalah terletak nilai-nilai transenden.

Sindhunata, rohaniwan Jesuit yang pernah “praktik kerja” sebagai wartawan harian Kompas pada tahun 1977-1980, pernah menjelaskan, humanisme transendental sesungguhnya bukan hanya berarti keterarahan manusia kepada Yang Transenden.

Keterbukaan akan Tuhan perlu dimengerti dengan keterbukaannya pada dunia. Bahkan, dalam memahami Tuhan, manusia ditentukan oleh keterikatannya pada dunia, yang membatasinya pada suatu saat dan sejarah tertentu. Oleh karena itu, visi kemanusiaan transendental sekaligus adalah visi kemanusiaan historis.


Kompasi

Secara praktis, mengutip Jong, makna humanisme transendental itu diwujudkan dalam compassion (kompasi), yakni merasakan suka duka manusia lain yang diterjemahkan dalam empati dan kompasi terhadap sosok manusia, termanifestasi dalam simpati, berbagi perasaan terhadap sesama, dan keberpihakan kepada yang lemah. Compassion berarti berbelarasa terhadap mereka yang lemah, tersingkir, dan menjadi korban.

Berdasarkan sikap belarasa itu, harian Kompas dalam penyajian berita dan tulisan-tulisannya selalu diwarnai sikap tenggang rasa dan penuh pengertian. Manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya, di tengah keagungan dan kekerdilannya, merupakan sosok yang tidak pernah bisa sempurna.

Keluhuran manusia dan hak asasi setiap manusia diberi tempat dan dihargai. Harian Kompas berusaha menjauhi cara-cara kritik dengan menyakiti hati orang, sebaliknya membiarkan orang memperbaiki sendiri.

Pandangan tentang kemanusiaan yang beriman ini menjadi semacam fondasi bagi profesi seorang wartawan yang kerap dituturkan Jakob dalam berbagai kesempatan. Pandangan ini pula yang menjadi dasar dalam setiap pemberitaan harian Kompas, Kompas.com, dan Kompas TV.

Ia mengabadikan pandangannya ini dalam Tajuk Rencana, 28 Juni 1980, saat harian Kompas berulang tahun ke-15.

"Kita ingin berkarya bersama-sama memajukan kesejahteraan masyarakat manusia Indonesia dalam makna yang sepenuh-penuhnya.
 
Artinya sesuai dengan aspirasi, potensi serta harkat martabat manusia dalam posturnya yang majemuk sebagai individu, sebagai warga masyarakat komunitas, sebagai warga masyarakat bangsa dan negara serta warga masyarakat dunia.
 
Kita menempatkan masyarakat manusia dalam posisinya yang vertikal dan horisontal. Vertikal berarti dalam kaitannya dengan ilahi dan horisontal dalam kebersamaannya dengan sesama manusia lain dalam kaitan keluarga, komunitas, masyarakat bangsa dan negara.
 
Iman ditempatkan tidak dalam misi penyebarannya, tetapi dalam misi bersama agama-agama yaitu mensublimir totalitas harkat dan martabat manusia beserta segala ekspresi kekaryaan dan eksistensinya. Yang memberikan makna dan kedalaman dalam hidup manusia dan karena itu juga yang mengembangkan dan meneguhkan persaudaraannya.
 
Kita hormat akan martabat manusia, karena itu menghormati hak-hak asasinya dan ikut dalam karya besar pembangunan nasional. Karena tujuan dan fungsi pembangunan itu adalah mengusahakan nasib rakyat Indonesia menjadi secara kualitatif lebih baik.
 
Kita menunjang pembangunan kultur dan struktur demokrasi Pancasila, yang akan mampu di satu pihak menjamin keleluasaan ekspresi serta kreativitas rakyat, bersamaan dengan itu pula menjamin kebersamaan, tanggung jawab serta komitmen mengangkat derajat dan martabat orang banyak. Persepsi kita bukanlah statis, tetapi dinamis. Yaitu dinamika untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita bersama masyarakat Pancasila.
 
Dalam usaha ikut melaksanakan komitmen-komitmen itu, kita tidak “bermanipulasi” atau “bermain politik”. Kita berusaha harus lurus, apa adanya, menurut yang kita lihat benar dan bermanfaat disertai sikap hormat terhadap pandangan dan pendapat orang lain.
 
Surat kabar ini karena keyakinannya dan karena realitas masyarakat Indonesia berusaha ikut mengembangkan saling pengertian yang kreatif antara berbagai kelompok subkultur masyarakat dengan tujuan agar masyarakat kita mampu berfungsi dalam keberagamannya.
 
Dengan demikian ekspresinya terpenuhi dan sekaligus ekspresi diri ini haruslah bermakna dan berfungsi kemajuan serta kesejahteraan bersama. Itulah yang kita pandang sebagai kultur dan infrastruktur sistem masyarakat Pancasila."
Dalam sebuah kesempatan, Jakob pernah mengatakan, Kompas tidak hanya memberitakan sebuah peristiwa hanya sekadar sebagai sebuah peristiwa, tetapi masuk lebih jauh menggali apa makna dari peristiwa itu.

Seorang wartawan harus mampu mengambil jarak atas peristiwa yang ditulisnya dan menarik sebuah refleksi atas peristiwa tersebut. Dengan begitu, pembaca mendapatkan enlightment atau pencerahan.

Ia menyebut jurnalisme yang dipraktikkan di Kompas sebagai jurnalisme makna. Masihkah jurnalisme makna relevan bagi masyarakat kita yang hidup di era banjir informasi?

Jakob mempertanggungjawabkan gagasan jurnalisme makna ini kepada publik dalam pidato pengukuhan sebagai doktor kehormatan dari Fisipol Universitas Gadjah Mada pada 17 April 2003. Pidato itu menjadi refleksi pribadi kewartawanan seorang Jakob Oetama.

Menurut St Sularto dalam tulisannya "Junalisme Makna, “Civil Society”, “Culture Matters”, Satu Sisi Jakob Oetama Selintasan" dalam buku Bersyukur dan Menggugat Diri, perubahan interaksi global dan lokalitas begitu banyak dan begitu intensif sehingga warga merasa kehilangan makna.

Pendapat St Sularto bukan mengada-ada. Akan lebih jelas lagi jika persoalan ini ditarik ke masa kini, di era media sosial atau 13 tahun setelah pidato Jakob Oetama.

Ketika semua orang merasa memiliki media dan ketika semua orang merasa berhak mengunggah dan mendistribusikan informasi, maka yang terjadi adalah banjir informasi. Penyebaran informasi tak lagi one to many, tetapi bisa berlangsung secara many to many melalui berbagai pelantar media sosial.

Di era komunikasi many to many ini, banyak peristiwa penting yang melintas begitu saja tanpa makna, tanpa perspektif. Agar hubungan antara kejadian dan masalah itu bermakna, media massa memiliki tools berupa jurnalisme komprehensif, jurnalisme in depth, dan jurnalisme investigatif.

Pidato Jakob Oetama berjudul "Antara Jurnalisme Fakta dan Jurnalisme Makna" pada 17 April 2003, 13 tahun yang lalu, seolah menjawab "kekacauan" arus informasi yang terjadi akhir-akhir ini.

Pidato itu disampaikan dalam rangka Penerimaan Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa dalam Bidang Komunikasi dari Universitas Gadjah Mada.

Sebagai catatan, pada tahun 2003, dunia internet belum seramai sekarang. Istilah media sosial pun belum dipakai seperti saat ini. Walau demikian, di tahun itu, kehadiran media baru sudah disambut gegap gempita.

Sebagai pengingat situasi kala itu, berikut ini peristiwa penting di tahun 2003: Google baru mengakuisisi Blogger, Android baru didirikan, Wordpress baru dirilis, Myspace dan Linkedin juga baru didirikan di tahun itu. 

Friendster,  yang menjadi generasi pelantar media sosial generasi awal, baru dirilis setahun sebelumnya, disusul Facebook yang didirikan pada 2004 dan Twitter didirikan pada 2006. 

(Sumber:https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=4238548880100499745#allposts)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar