KAMPANYE POLITIK BERSIH
Bangsa
indonesia telah beberapa
kali mengadakan pesta demokrasi baik di tingkat daerah maupun
nasional. Dengan melihat pengalaman selama ini, ada beberapa hal penting yang
baik untuk dikritisi dan diperbaiki.
Dengan begitu, pilkada maupun pemilu dapat berjalan sesuai dengan aturan yang
berlaku dan nilai-nilai demokrasi. salah
satu hal yang sering terjadi adalah kampanye politik yang menghalalkan
segala cara. Kampanye sering diwarnai
dengan politik uang, politisasi sara, kampanye di tempat ibadah, penyebaran
hoaks, dan ujaran kebencian. Gereja Katolik menolak keras berbagai bentuk
kampanye yang mencederai dan merusak
keagungandemokrasi. Oleh karena itu, gereja Katolik berharap dan mendorong
adanya kampanye politik bersih.
MENOLAK POLITIK UANG
“JANGANLAH MEMUTAR BALIKKAN KEADILAN, JANGANLAH
MEMANDANG BULU DAN JANGANLAH MENERIMA SUAP, SEBAB SUAP MEMBUAT BUTA MATA
ORANG-ORANG BIJAKSANA DAN MEMUTARBALIKKAN PERKATAAN ORANG-ORANG YANG BENAR.”
(ULANGAN 16:19)
Menyuap orang dengan uang atau barang agar memberikan
suaranya untuk kandidat tertentu pada saat pemilihan umum merupakan sebuah
pelanggaran hukum. Politik uang (money politic), Sama halnya dengan korupsi
yang menjadi keprihatinan gereja katolik.
a. Apa Itu Politik Uang?
Politik uang atau money politic, secara sederhana
dapat dipahami sebagai suap atau sogokan. politik uang dapat berbentuk
pemberian baik berupa uang, barang atau janji supaya orang tersebut tidak
menggunakan hak pilihnya atau sebaliknya menggunakan hak pilihnya untuk pihak
yang telah memberinya suap. Politik uang dalam kompetisi politik dapat
dilakukan oleh siapa saja mulai dari simpatisan parpol, kader, hingga pengurus
parpol. Politik uang biasanya dilakukan menjelang atau bahkan pada hari pemilu
berlangsung untuk mempengaruhi masyarakat pemilih dalam menentukan pilihannya.
b. Dampak Politik Uang
Praktik politik uang dapat merusak proses demokrasi.
Dampak dari politik uang antara lain:
1. Masyarakat Pemilih Kehilangan Hati Nurani dan Nalar Yang Rasional
Pilihan politik atas dasar pilihan hati nurani dan nalar rasional tercemar dan
dimaknai sebagai dagangan politik untuk mencari keuntungan materi. Politik uang membeli aspirasi
masyarakat demi kepentingan pihak tertentu.
2. Pemimpin Tidak Berkualitas
Karena suara masyarakat bisa dibeli, akibatnya
masyarakat tidak memperoleh pemimpin yang mereka harapkan. Uang suap yang
diterima masyarakat, nilainya tidak akan sebanding dengan penderitaan yang akan
mereka alami apabila mendapatkan pemimpin yang tidak berkualitas. Pemimpin seperti
itu hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya, serta tidak bijak dalam
menghasilkan kebijakan atau keputusan.
3. Merusak Kaderisasi Politik
Untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas,
kaderasisasi politik juga harus menjadi ladang yang sehat dalam mempersiapkan
calon-calon pemimpin. Politik uang dapat merusak kadersisasi politik karena
para kandidat hanya terfokus pada upaya mengumpulkan uang sebanyak mungkin
untuk membeli suara masyarakat. Mereka tidak pernah berpikir soal meningkatkan
kapasitas diri sebagai seorang calon
pemimpin yang baik. Politik uang juga mengakibatkan kandidat
politik berambisi terus maju dalam
kompetisi politik karena menganggap uang mereka akan kembali memenangkan
kompetisi politik.
4. Potensi Korupsi
Politik uang menambah daftar panjang kasus korupsi
pejabat publik di Indonesia. Korupsi dilakukan oleh para pejabat publik akibat biaya politik yang
tidak murah, di mana pejabat tersebut mencuri uang rakyat untuk mengembalikan kerugian atau pengeluaran
selama kampanye pemilu.
c. Pandangan Gereja Katolik terhadap Politik Uang
Gereja katolik secara tegas menyerukan penolakan
terhadap politik uang, sebagaimana ajaran yang
tertuang dalam kitab suci, bahwa suap dapat “membuat
buta mata orang-orang
bijaksana dan memutarbalikkan perkataan
orang-orang yang benar” (Bdk.
ulangan 16:19). Orang
melakukan suap karena tergiur keuntungan sekejap, seperti
anak-anak Samuel yaitu Yoel dan Abia, “...
tidak hidup seperti ayahnya;
mereka mengejar laba, menerima suap dan memutarbalikkan keadilan” (Bdk. 1
samuel 8:3).
Hal ini juga yang dilakukan oleh para kandidat
politik yang memainkan politik uang. Mereka mengharapkan perolehan suara yang
banyak dengan sekejap tanpa mau bersusah payah meningkatkan kualitas diri
dan melakukan pendekatan yang baik
dengan masyarakat seperti seharusnya seorang calon pemimpin yang berintegritas.
Santo
Paulus mengatakan bahwa
cinta uang adalah
akar dari segala
kejahatan. Bukan hanya
praktik suap, menerima
suap juga dapat membawa celaka,
seperti yang dia tuliskan, “sebab oleh memburu
uanglah beberapa orang
telah menyimpang dari
iman dan menyiksa
dirinya dengan berbagai-bagai duka”
(1 Timotius 6:9-10). menerima
uang suap dan memberikan dukungannya
bagi kandidat politik
yang memainkan politik
uang dapat menggerus
kualitas praktik demokrasi.
Pada akhirnya perilaku
itu hanya menghasilkan
pemimpin-pemimpin yang tidak
bertangung jawab serta
menyengsarakan rakyat melalui
kebijakan-kebijakannya.
Itulah
mengapa bukan hanya
praktik suap saja
yang dikecam oleh
gereja, melainkan juga
perilaku menerima atau
mau disuap itu
sendiri. Perilaku menerima suap sendiri tercatat pada kitab suci dan dikisahkan secara
gamblang pada zaman
kehidupan Yesus, yaitu
Yudas iskariot yang menerima 30 keping uang perak dan mengkhianati
Yesus (Bdk. matius
26:14-16). Dia sendiri
juga menyesal setelahnya
dan memilih untuk mengakhiri hidupnya. hal ini menunjukkan bahwa
cinta uang dalam
wujud suap sangat
digarisbawahi oleh ajaran
kitab suci, yang tidak hanya “memutarbalikkan keadilan” tetapi juga membawa
celaka bagi diri sendiri yang menerimanya.
Politik
uang tidak serta
merta dapat dihilangkan
dalam kompetisi politik di
indonesia, mengingat ada banyak partai politik dan kandidat politik
di segala tingkatan
yang telah mempersiapkan
diri untuk meraih
dukungan masyarakat pemilih.
sebagai umat katolik,
apa yang seharusnya dilakukan untuk mendukung politik bersih?
Tolak Uangnya, Pilih Dengan Hati Nurani
Gereja secara tegas menolak politik uang yang telah
secara jelas tertulis dalam kitab suci. Jika kita ingin memilih pemimpin dengan
hati nurani, cukup mengatakan tidak pada setiap tawaran suap yang datang pada
kita, termasuk yang datang dari kandidat politik/partai politik pilihan kita.
Kita bersyukur kepada Allah karena Bangsa Indonesia
dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa dan
keanekaragaman suku, ras, agama, dan budaya yang tak ternilai harganya.
Kita wajib berterima kasih karena
meskipun masyarakat indonesia
beragam, namun tetap dapat hidup
berdampingan satu sama lain dengan rukun dan damai. semua itu berkat
penyelenggaraan Ilahi melalui para pejuang dan pendiri Bangsa indonesia yang
merumuskan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan hidup berbangsa dan bernegara yang
mempersatukan rakyat indonesia dalam perbedaan. Tentu kita tidak ingin karya
Allah yang indah ini rusak akibat politisasi SARA.
a. Apa Itu Politisasi SARA
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat
multikultur karena terdiri dari sejumlah besar ras, etnis, agama, budaya, dan bahasa. Multikulturalisme
membentuk masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang menghargai perbedaan
atau toleran. Nilai-nilai toleransi yang menjadi kekhasan masyarakat multikultur ini bermanfaat untuk membina
hubungan yang harmonis antarmasyarakat, sehingga mendukung terciptanya
kehidupan yang aman dan sejahtera.
Meski demikian, masyarakat multikultur rentan
terhadap konflik yang disebabkan oleh perbedaan karena kondisi masyarakatnya beragam. Sering kali
konflik tersebut tidak terjadi secara alami melainkan terjadi karena sengaja diciptakan untuk kepentingan
pihak tertentu. Salah satu ancaman serius bagi kehidupan kebhinnekaan indonesia
itu adalah praktik politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan (sara).
Sebagaimana kita ketahui, dalam beberapa tahun
terakhir seiring dengan perkembangan era digital, dinamika perpolitikan tanah
air diramaikan ujaran kebencian dan provokasi melalui isu sara.
Penggunaan isu sara dalam kompetisi politik baik
lokal maupun nasional tidak dapat dihindarkan, mengingat masyarakat Indonesia
yang beragam masih menjalankan dan menghidupi adat, agama, dan kebudayaan mereka. kesukuan, keagamaan,
asal-usul, dan golongan masih menjadi identitas yang penting bagi sebagian besar masyarakat kita.
Tak mengherankan jika kemudian isu identitas
digunakan oleh para politisi sebagai
pola pendekatan terhadap masyarakat pemilih dalam persaingan politik. Artinya,
para kandidat politik menonjolkan latar belakang, suku, agama, ras, dan
golongan sebagai keunggulan yang mereka
miliki untuk menarik pemilih, bukan visi dan misi atau program kerja guna
memajukan kehidupan masyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
b. Dampak Politisasi SARA
Praktik politisasi sara tidak dapat dibenarkan dalam
Pilkada, Pileg, maupun Pilpres. Beberapa dampak
buruk politisasi sara, antara
lain:
1. Masyarakat Pemilih Kehilangan Nalar dan Daya
Kritis
Apabila tidak disikapi dengan bijak, politisasi SARA
dapat melemahkan rasionalisme dan daya kritis
masyarakat pemilih. Politisasi sara mengajak masyarakat untuk memilih
para kandidat politik berdasarkan
sentimen identitas kesukuan, agama, ras atau golongan, bukan pada
integritas dan agenda kerja yang mereka
usung dalam rangka menjawab permasalahan publik.
2. Pemilu Menjadi Tidak Berkualitas
Masyarakat pemilih yang mengukur kelayakan para
kandidat politik hanya karena semata-mata memiliki kesamaan suku, ras, agama atau golongan,
membuat pemilu menjadi tidak sehat dan tidak berkualitas. Pemilu yang
seharusnya menjadi mekanisme demokratis untuk menyeleksi calon pemimpin
menjadi sia-sia karena tidak dapat
memilih pemimpin terbaik yang diharapkan rakyat. Para politisi yang menggunakan
isu sara sebagai komoditas tidak akan menjadi pemimpin yang mengedepankan kepentingan umum, melainkan kelompoknya
sendiri.
3.Menciptakan Stigma
Politisasi sara menciptakan stigma dan membawa
kerugian bagi kelompok atau kandidat politik yang mendapat serangan. Hal ini melahirkan benih-benih kebencian di
tengah masyarakat dan diskriminasi terhadap individu atau kelompok yang mereka
anggap berbeda.
4. Mengikis Kebinekaan
Penggunaan isu sara untuk menarik dukungan elektoral
dapat mengikis kebinekaan yang merupakan
bangunan utama NKRI. Politisasi sara yang sering kali diwarnai dengan
ujaran kebencian meningkatkan suasana
sektarian pada masyarakat. Masyarakat kemudian
terkotak-kotak pada kepentingan
politik dan semakin tidak toleran terhadap pihak yang
mereka anggap berbeda. Kondisi ini sangat tidak sesuai dengan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika.
5.Potensi Konflik Sosial dan Disintegrasi Bangsa
Terkikisnya
nilai-nilai kebinekaan dalam
masyarakat berpotensi melahirkan
konflik sosial yang
dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa. Sebagaimana kita ingat,
konflik yang melibatkan sentimen rasial pada tahun 1998 dan konflik antaragama
yang terjadi di Ambon pada tahun 1999
menunjukkan bahwa bangsa
ini rentan terhadap perbedaan yang dimilikinya.
Politisasi sara sangat membahayakan bangsa Indonesia, karena merongrong dan
memecah belah kerukunan masyarakat.
c. Pandangan Gereja Katolik Terhadap Politisasi SARA
Gereja katolik secara tegas menolak praktik
politisasi sara dalam kompetisi politik
di indonesia, baik
Pilkada, Pileg, maupun
Pilpres. Demikian juga
umat katolik wajib
mengatakan tidak pada
praktik politisasi sara sebagai
wujud kecintaan sebagai warga gereja maupun sebagai warga
negara indonesia yang
meyakini Pancasila, UUD 1945, NKRI,
dan Bhinneka Tunggal Ika.
Politisasi sara jelas bertentangan dengan Bhinneka
Tunggal Ika dan
sila ketiga Pancasila
yaitu persatuan Indonesia. untuk itulah gereja dan umat
Katolik Indonesia sebagai bagian dari NKRI
berpartisipasi dalam mempertahankan NKRI
dengan turut menguatkan
nilai-nilai Bhinneka Tunggal
Ika dan Pancasila.
Hal ini mengingatkan
kembali pada semboyan
yang telah diwariskan
oleh Mgr. Albertus
Soegijapranata, SJ, yang berbunyi, “100 persen Katolik, 100 persen Indonesia.”
perjuangan gereja Katolik di Indonesia adalah perjuangan orang yang beriman
Katolik untuk kesejahteraan Bangsa Indonesia.
Politisasi
sara jelas bertentangan
dengan ajaran gereja Katolik untuk
memupuk cinta kasih antarumat manusia dan di
antara bangsa-bangsa (Deklarasi
konsili Vatikan II
“Nostra Aetate”, Pengantar). Kitab Suci
mengajarkan kita untuk
memelihara kasih
persaudaraan (bdk. ibrani 13:1). Seperti yang
telah dijelaskan di atas,
politisasi sara merupakan
praktik eksploitasi sara
untuk kepentingan politik yang dapat merusak persaudaraan dan
kerukunan masyarakat. Untuk
itulah politisasi sara tidak
sesuai dengan nilai-nilai ajaran
gereja Katolik yaitu memelihara kerukunan dan
mengusahakan terciptanya cinta
kasih persaudaraan (bdk. Roma 12:10).
d. Bagaimana Umat Katolik Melawan Politisasi SARA
Banyak hal yang bisa dilakukan umat Katolik untuk
berpartisipasi dalam penyelenggaraan politik yang sehat tanpa politisasi sara.
Pertama, umat
Katolik sebagai warga negara Indonesia harus menerima NKRI dengan
nilai-nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal ka-nya sebagai cara hidup
warga negara Indonesia. Mencintai
tanah air berarti
ikut mewujudkan nilai-nilai
Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dengan menolak segala bentuk
politisasi sara untuk kepentingan politik yang dapat merusak keutuhan NKRI.
Kedua, sesuai ajaran cinta kasih Yesus, umat Katolik
harus menjadi agen perdamaian
dengan tetap menjalin
persahabatan dengan semua
orang tanpa memandang
latar belakang sara.
Di tengah dinamika politik
yang tidak sehat
akibat politisasi sara, umat Katolik harus tetap hadir sebagai
‘garam, ragi, dan terang’ (bdk. Matius
5:14-16) yang mempromosikan
kerukunan antarmasyarakat yang terkotak-kotak akibat sektarianisme.
Ketiga, umat Katolik harus terlibat langsung dalam
melawan politisasi sara. media
sosial merupakan salah
satu media yang
arus informasinya tidak
dapat dibendung dalam
menyebarkan berita palsu dan hoaks bermuatan kebencian serta provokasi
sara seputar kandidat politik.
umat katolik harus
menjadi umat yang
cerdas dalam bersosial
media dengan tidak
turut menyebarkan atau memproduksi infomasi yang tidak
bertanggung jawab. Media komunikasi harus menjadi sarana perdamaian sejati,
mengabdi pada kebenaran, bukan agen propaganda dan disinformasi.
Keempat,
menjadi umat yang
cerdas dengan mempelajari visi
misi dan program
kerja para politisi.
pengetahuan yang cukup terhadap calon
pemimpin sangat bermanfaat
agar masyarakat pemilih tetap netral
dalam memilih calon pemimpin mereka. Dengan pengetahuan yang mewadahi,
masyarakat pemilih akan menentukan pemimpin
mereka berdasarkan integritas
dan kompetensi yang
diperlukan untuk membangun
masyarakat, bukan mengedepankan
kesamaan identitas berbasis sara (bdk. Markus 2: 23-28).
Kelima, saat ini pemerintah telah menggagas secara
serius terkait penyelenggaraan pemilu
baik lokal maupun
nasional, termasuk di dalamnya
sanksi pelanggaran. umat katolik diharapkan menjadi warga
negara yang aktif
dengan turut mengawal
praktik politik di daerahnya, salah satunya dengan melaporkan
pelanggaran-pelanggaran yang terjadi
seperti isu sara
dalam materi kampanye
kandidat politik.
Tempat Ibadah Jangan Dijadikan Tempat Kampanye
Dalam perikop “Yesus menyucikan Bait Allah (Bdk. Yoh
2:13-25), Yesus menunjukkan kemarahannya
ketika melihat hiruk pikuk para penukar uang dan pedagang hewan
persembahan yang berjualan di
depan Bait Allah,
yang seharusnya merupakan
tempat yang suci. Menjelang Pemilu,
kandidat politik berkompetisi
dalam menggalang dukungan
masyarakat tak terkecuali umat
beragama. Sering kali kegiatan
kampanye dilakukan di
tempat ibadah untuk
meraih suara umat. Bagaimana
Gereja dan warganya bersikap terhadap kampanye politik di tempat ibadah?
a. Tempat
Ibadah tidak boleh dijadikan Tempat Kampanye
Penggunaan
tempat ibadah sebagai
sarana melakukan kegiatan kampanye
politik merupakan hal
yang dilarang. Hal ini
diatur dalam undang-undang nomor 10 tahun 2016 atau yang dikenal
sebagai UU Pilkada.
Tidak hanya itu,
selain dilarang menggunakan
tempat ibadah, pemasangan alat peraga kampanye seperti spanduk atau stiker
juga dilarang di
tempat ibadah dan
halamannya. Ada sanksi tegas
bagi pelanggar yang
tertuang pada pasal
70 ayat (2) UU
no.10 tahun 2016, yaitu
peringatan tertulis dan
penghentian kegiatan kampanye di tempat terjadinya pelanggaran. Kampanye
di tempat ibadah, dalam hal ini di gereja, tidak dibenarkan karena beberapa
alasan.
1.Gereja
merupakan tempat yang
suci, sehingga seharusnya
bebas dari urusan keduniawian seperti kampanye politik.
2.Kampanye di tempat ibadah berarti melakukan
politisasi sara, karena kandidat politik
menggalang dukungan umat
agama tertentu. Isu agama adalah
isu yang sangat sensitif. Kampanye sering
kali tidak hanya
memperkenalkan kandidat politik dan program kerja,
tetapi juga dikhawatirkan melontarkan
ujaran kebencian terhadap
kandidat lain dengan
isu identitas. Politisasi
sara secara tegas
ditolak oleh gereja
karena tidak sesuai
dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika
dan ajaran gereja sendiri.
3.Hierarki
dalam hal ini
para Bapak uskup, pastor, dan
Diakon harus netral. mereka tidak
boleh berpolitik praktis,
sehingga tidak seharusnya mengizinkan gereja sebagai tempat kampanye untuk
menjaga netralitas gereja.
b. Pandangan Gereja Katolik terhadap Kampanye di
Tempat Ibadah
Larangan
menggunakan tempat ibadah sebagai tempat kampanye politik
tidak hanya diserukan
oleh gereja Katolik,
tetapi juga para pemuka
agama lain. sikap
gereja adalah tegas
menolak kampanye di tempat ibadah
karena berpotensi pada politisasi sara. Dalam Injil Yoh 2:13-25 dikisahkan bahwa
Yesus mengusir para penukar uang dan
pedagang hewan persembahan
yang berjualan di halaman Bait Allah. Penyebab kemarahan
Yesus adalah penipuan yang dilakukan oleh orang-orang yang berbisnis di depan
Bait Allah. Para penukar uang menjalankan bisnis penukaran uangnya, di mana orang
yang menggunakan uang asing harus lebih dulu ditukar dengan setengah shekel
(tyrian) untuk bisa
membeli hewan persembahan.
Dalam proses penukaran
uang ini tentu
terjadi kecurangan karena para
penukar uang mengambil untung dari orang-orang yang datang dari segala
penjuru untuk beribadat di Bait Allah. Belum lagi kecurangan yang dilakukan
oleh para penjual hewan persembahan.
kegiatan bisnis ini tentunya
melibatkan pengelola Bait
Allah. Melihat hal ini
Yesus marah karena
melihat Bait Allah
yang seharusnya menjadi tempat
suci, tempat menyembah Allah, dijadikan tempat orang meraup keuntungan duniawi.
Demikian
halnya kampanye politik,
tentunya tidak dapat
bersih dari mencari
keuntungan bagi diri
sendiri seperti yang
dilakukan oleh para penukar uang dan penjual hewan persembahan.
ketika Yesus marah
dan mengusir para
penukar uang serta
pedagang di Bait
allah, Yesus mengatakan, “Cinta untuk
rumah-mu menghanguskan aku” ( Yoh 2:17).
Yesus marah karena
cinta-nya kepada Allah,
yang Dia tunjukkan
dengan menyucikan Bait
allah dari orang-orang yang
sibuk memikirkan uang, bukan
bermaksud menyembah allah di Bait
Allah. Yesus mengajarkan bahwa
allah Bapa adalah
yang harus kita
dahulukan, yang harus
kita cintai lebih
dari segala sesuatu
(bdk. matius 22:37).
Cinta terhadap keduniawian
seperti uang dan
jabatan tidak boleh
menggantikan kasih kita
kepada allah, apalagi hal
ini dilakukan di
rumah allah sendiri.
Bisnis yang dilakukan
oleh para penukar uang dan pedagang di Bait allah, sama halnya dengan
kampanye yang dilakukan
oleh para kandidat
politik di gereja. Sesungguhnya perbuatan yang
mereka lakukan semata-mata untuk
kepentingan diri sendiri
yang seolah-olah dilakukan
demi nama Tuhan.
hal inilah yang
ditentang oleh Yesus
ketika Dia mengusir orang-orang
dari Bait Allah.
Kampanye di tempat ibadah tak jarang terkait dengan
politisasi sara, karena kandidat politik jelas
menyasar pada masyarakat pemilih yang merupakan warga gereja Katolik.
Meskipun tidak berarti selalu
mendiskreditkan kandidat politik
lain, politisasi sara
jelas-jelas ditolak oleh
gereja Katolik karena
merongrong persatuan indonesia
dan bertentangan dengan
ajaran Cinta kasih
Yesus. Dalam meningkatnya eskalasi
politik akibat pilkada,
pileg maupun pilpres,
gereja Katolik harus tetap
netral. Dengan tidak
mengijinkan gereja menjadi tempat kampanye, berarti Gereja dan umat Katolik
tidak terkotak-kotakkan akibat
kepentingan politik dan turut menjadi agen perdamaian di tengah
masyarakat (bdk. Yoh 20:21).
c. Gereja dan Umat Katolik Dapat Berpartisipasi
Dalam
rangka menjaga netralitas
gereja katolik dalam
pilakada, pileg, dan pilpres ada
beberapa hal yang dapat dilakukan :
1.
Penggunaan tempat ibadah
sebagai tempat kampanye
politik sesungguhnya tidak
semata-mata dilakukan secara
fisik dengan menggunakan gereja
dan segala fasilitasnya.
Makna yang lebih luas dari ini adalah umat harus berpartisipasi secara
aktif untuk menolak
kampanye politik yang
memanfaatkan mimbar agama Katolik, seperti doa dan pertemuan lingkungan.
Doa dan pertemuan lingkungan adalah
gereja, Tempat bersatunya umat dengan
Allah, sehingga tidak seharusnya menjadi sarana untuk mencapai keuntungan yang
sama sekali tidak bermotif cinta kasih kepada Allah, melainkan untuk diri
sendiri dan kelompoknya (bdk. matius 6:33-34).
2. Gereja dan umat katolik harus bersikap tegas
dengan menolak bantuan dari para
kandidat politik di
masa kampanye agar
tidak terperangkap dalam
politisasi sara. Kampanye dalam gereja dapat terwujud dalam bentuk
pemberian bantuan untuk menarik
simpati umat katolik.
menerima bantuan dari
para kandidat politik di
masa kampanye sama
halnya menjadikan gereja sebagai sarana kampanye.
3.
Gereja dan umat
katolik tidak diperkenankan
memihak salah satu kandidat
politik. Gereja harus
turut menciptakan politik
yang sehat dan berkualitas dengan cara mendidik umat untuk memilih pemimpin
yang berintegritas dan
mengedepankan kepentingan umum,
bukan memihak pada salah satu kandidat apalagi dengan alasan keagamaan.
Tidak
Terpengaruh Kabar Bohong Dan Ujaran Kebencian
Dinamika
kehidupan bersosial di masyarakat mengalami perubahan serta perkembangan yang
begitu cepat. Setiap manusia memiliki kebutuhan untuk menyampaikan dan mendapat
informasi sebagai sebuah pemenuhan
syarat makhluk sosial dan demi keberlangsungan sebuah relasi humanis. Derasnya
arus informasi yang beredar baik melalui
komunikasi verbal, media cetak, media elektronik, bahkan saat ini semakin cepat lagi dengan teknologi digital,
seolah tidak dapat dibendung dan terus mengalir. Dari beragam informasi atau
berita yang selalu hadir dan baru itu juga, kita sebagai umat Katolik selalu
di ingatkan untuk senantiasa
menyampaikan kabar baik kepada setiap orang.
Dewasa ini
kabar kebenaran seolah tergerus dengan banyaknya informasi atau kabar bohong
(hoaks) yang justru menyebabkan banyak
kekacauan dan menimbulkan perpecahan di tengah damainya masyarakat. Terlebih
gaya komunikasi yang cenderung menyudutkan dan kerap kali bernada
kebencian yang mengakibatkan hilangnya
keadaban kita sebagai manusia. Ujaran kebencian (hate speech) yang mendasarkan pada sentimen pribadi atau
kelompok hanya akan semakin memperburuk keadaan yang sudah berjalan dengan aman
dan damai di tengah masyarakat.
Untungnya
sekarang ini negara kita sudah memiliki undang-undang yang mengatur tentang
informasi dan transaksi elektronik disingkat ITE, sebagai upaya penegakan hukum untuk menindak tegas
para penyebar berita bohong serta ujaran kebencian, serta untuk melindungi
masyarakat dari serangkaian kabar bohong
atau pun ujaran kebencian yang sengaja digulirkan pihak-pihak yang tidak
menginginkan Indonesia damai.
a. Sikap
Gereja Terhadap Maraknya Kabar Bohong
Kemunculan
kabar bohong dan ujaran kebencian yang semakin masif menjadi keprihatinan
sekaligus tantangan bagi umat Katolik untuk turut ambil bagian dalam melawan
dan memutus mata rantai kabar bohong dan
ujaran kebencian yang beredar di masyarakat melalui beragam media. Bapa Suci
Paus Fransiskus, pernah membacakan
sebuah dokumen yang dibuatnya dalam rangka menyambut hari Komunikasi Sedunia
tahun 2018, juga mengecam penggunaan media sosial untuk kepentingan
manipulatif. Berita palsu yang beredar dan dipercayai menjadi awal keributan
karena memancing perhatian orang-orang dengan memberikan stereotipe serta
prasangka sosial yang dapat mengeksploitasi emosi sesaat, kegelisahan, penghinaan, kemarahan,
bahkan frustasi. Kabar bohong dan ujaran kebencian adalah tanda sikap arogan
dan intoleran, yang hanya melahirkan hipersensitif bahkan perpecahan.
Kisah Adam dan
Hawa di dalam Kitab Kejadian menjadi contoh betapa kabar bohong atau hoaks
dapat menjatuhkan manusia ke dalam
sebuah dosa. Relasi baik antara Tuhan dengan manusia sebagai ciptaan-Nya yang
dianggap sungguh sangat baik pun terputus karenanya. Hawa mendapat sebuah kabar bohong dari iblis dalam wujud seekor ular
bahwa dengan memakan buah terlarang, maka dirinya akan menjadi setara dengan Tuhan Sang Pencipta.
Hawa yang mempercayai berita bohong itu pun mengajak Adam. Akibatnya, dua
manusia itu dihukum Tuhan karena tidak mematuhi perintah-Nya dan lebih
memilih mempercayai tipu daya dari iblis
dari pada menjauhi larangan-Nya. Mereka harus diusir dari taman Eden dan
menjalani hukuman dengan bersusah payah untuk mencukupi kebutuhan hidupnya
karena melanggar perintah Tuhan.
b. Hoaks Dan
Ujaran Kebencian Merusak Demokrasi
Dalam konteks
pesta demokrasi, khususnya pada saat pemilu, kita selalu berharap kabar bohong
dan ujaran kebencian tidak akan pernah muncul lagi dan hilang dari masyarakat
kita. Sebab jika kabar bohong atau pun ujaran kebencian masih ada dan semakin
masif, hal tersebut akan merusak demokrasi yang selama ini kita jaga bersama.
Sebagai pemilih yang cerdas tentunya kita aktif mencari kebenaran dari sebuah
informasi yang kita terima dari mana pun. Terlebih jika menyangkut pada pilihan
yang akan kita ambil pada saat pemungutan suara nantinya. Dampak buruk kabar
bohong dan ujaran kebencian selama
proses pemilu, antara lain:
1. Berpotensi
menyebabkan kondisi masyarakat saling curiga. Hal ini akan membuat keretakan
relasi yang selama ini terjalin baik di antara masyarakat. Dan jika kondisi ini
tidak segera diakhiri maka dapat mengakibatkan pola hubungan sosial di
masyarakat menjadi berubah agresif. Akan bermunculan kelompok-kelompok di dalam
masyarakat yang saling mengawasi dalam perspektif negatif dan mudah diadu
domba.
2. Berpotensi
melahirkan permusuhan dan perpecahan di tengah masyarakat yang damai. Adanya kabar
bohong dan ujaran kebencian hanyalah akan membuat orang semakin membenci
dan muaranya sampai pada sebuah tindakan intimidasi hingga persekusi yang
sangat bertentangan dengan hukum.
3. Berpotensi
memengaruhi pilihan seseorang dalam pengambilan suara saat pemilu. Pilihan yang
diambil berdasarkan kabar bohong dan
ujaran kebencian justru semakin menjauhkan cita-cita dan akan perubahan ke arah
yang lebih baik terlebih kesejahteraan bersama yang menjadi harapan rakyat.
4. Memunculkan
bibit dendam yang tidak mudah dihentikan bahkan menjadi laten. Akibatnya, masyarakat menjadi mudah tersulut emosi. Semakin parah apabila
dendam itu sampai menjalar kepada anak-anak yang notabene generasi penerus.
Kabar bohong
dan ujaran kebencian hanya akan menimbulkan perpecahan, mengancam persatuan,
tidak akan bisa membawa kedamaian, serta
merusak keadaban publik. Sehingga pemilu yang diharapkan menjadi jembatan
sebuah perubahan atas kondisi masyarakat menuju ke arah yang lebih baik justru
tercemar dan jauh dari hasil yang diimpikan akibat kemunculan kabar bohong dan
ujaran kebencian.
Tidak ada
dampak positif yang timbul dari sebuah pilihan berdasarkan sebuah kabar bohong
dan ujaran kebencian. Kabar bohong dan ujaran kebencian sungguh dapat merusak
demokrasi yang saat ini sudah semakin
tertata dengan baik. Bencana Sosial
akibat kabar bohong dan ujaran kebencian biasanya akan berlangsung lama dan mengakibatkan situasi
terus memanas. Oleh sebab itu, segala macam kabar bohong dan ujaran kebencian
harus dihentikan.
c. Menangkal
Kabar Bohong dan Ujaran Kebencian
Umat beriman
yang senantiasa menjadi garam dan terang dunia, sudah semestinya bersama-sama
menolak dan berupaya untuk menghentikan adanya berita bohong dan ujaran
kebencian yang beredar di masyarakat.
Berita bohong dan ujaran kebencian bertentangan dengan Iman Katolik yang selalu
menebarkan warta sukacita dan cinta kasih. Untuk menangkal kabar bohong serta
ujaran kebencian dapat dimulai dengan :
1. Tidak
mudah terpengaruh dan percaya atas setiap kabar atau informasi yang kita terima
baik melalui pesan verbal, tulisan, terlebih lewat media sosial.
2. Melakukan
penelusuran akan kebenaran berita atau informasi melalui orang-orang yang kita
anggap dapat memberikan penjelasan, atau
melalui teknologi alat pencari di internet. Hati-hati dengan judul berita yang bernada
provokatif, cermati alamat situsnya,
apakah memang dapat dipercaya atau hanya memang media abal-abal.
3. Tidak
ikut menyebarkan kabar atau informasi sebelum kita pastikan sendiri dan yakin
akan kebenarannya. Filter utama dan pertama adalah kita.
4. Cerdas
dalam bermedia sosial dalam arti mampu secara bijak menggunakan media sosial
sebagai sarana untuk berkomunikasi dan menyebarkan kabar suka cita dan
kebenaran
Di sadur dari Serial Buku Pengawasan Partisipatif
(BERSAMBUNG BAG. IV)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar