Peran Serta Umat Katolik Dalam Mewujudkan Pemilu Yang Berkualitas (bag. III) - Warta Katolik

Breaking

Bagi Yang Ingin Kegiatannya Dipublikasikan Di Blog Ini, Mohon Hubungi WA No. 081345227640

Rabu, 13 Februari 2019

Peran Serta Umat Katolik Dalam Mewujudkan Pemilu Yang Berkualitas (bag. III)

KAMPANYE POLITIK BERSIH

Bangsa  indonesia  telah  beberapa  kali  mengadakan  pesta demokrasi baik di tingkat daerah maupun nasional. Dengan melihat pengalaman selama ini, ada beberapa hal penting yang baik untuk dikritisi dan  diperbaiki. Dengan begitu, pilkada maupun pemilu dapat berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku dan  nilai-nilai demokrasi. salah satu hal yang sering terjadi adalah kampanye politik yang menghalalkan segala  cara. Kampanye sering diwarnai dengan politik uang, politisasi sara, kampanye di tempat ibadah, penyebaran hoaks, dan ujaran kebencian. Gereja Katolik menolak keras berbagai bentuk kampanye yang  mencederai dan merusak keagungandemokrasi. Oleh karena itu, gereja Katolik berharap dan mendorong adanya kampanye politik bersih.


MENOLAK POLITIK UANG

“JANGANLAH MEMUTAR BALIKKAN KEADILAN, JANGANLAH MEMANDANG BULU DAN JANGANLAH MENERIMA SUAP, SEBAB SUAP MEMBUAT BUTA MATA ORANG-ORANG BIJAKSANA DAN MEMUTARBALIKKAN PERKATAAN ORANG-ORANG YANG BENAR.” 
(ULANGAN 16:19)


Menyuap orang dengan uang atau barang agar memberikan suaranya untuk kandidat tertentu pada saat pemilihan umum merupakan sebuah pelanggaran hukum. Politik uang (money politic), Sama halnya dengan korupsi yang menjadi keprihatinan gereja katolik.

a. Apa Itu Politik Uang?

Politik uang atau money politic, secara sederhana dapat dipahami sebagai suap atau sogokan. politik uang dapat berbentuk pemberian baik berupa uang, barang atau janji supaya orang tersebut tidak menggunakan hak pilihnya atau sebaliknya menggunakan hak pilihnya untuk pihak yang telah memberinya suap. Politik uang dalam kompetisi politik dapat dilakukan oleh siapa saja mulai dari simpatisan parpol, kader, hingga pengurus parpol. Politik uang biasanya dilakukan menjelang atau bahkan pada hari pemilu berlangsung untuk mempengaruhi masyarakat pemilih dalam menentukan pilihannya.

b. Dampak Politik Uang


Praktik politik uang dapat merusak proses demokrasi. Dampak dari politik uang antara lain:

1. Masyarakat Pemilih Kehilangan Hati Nurani dan Nalar Yang Rasional 
Pilihan politik atas dasar pilihan hati  nurani dan nalar rasional tercemar dan dimaknai sebagai dagangan politik untuk mencari keuntungan  materi. Politik uang membeli aspirasi masyarakat demi kepentingan pihak tertentu.


2. Pemimpin Tidak Berkualitas
Karena suara masyarakat bisa dibeli, akibatnya masyarakat tidak memperoleh pemimpin yang mereka harapkan. Uang suap yang diterima masyarakat, nilainya tidak akan sebanding dengan penderitaan yang akan mereka alami apabila mendapatkan pemimpin yang tidak berkualitas. Pemimpin seperti itu hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya, serta tidak bijak dalam menghasilkan kebijakan atau keputusan.

3. Merusak Kaderisasi Politik
Untuk mendapatkan pemimpin yang berkualitas, kaderasisasi politik juga harus menjadi ladang yang sehat dalam mempersiapkan calon-calon pemimpin. Politik uang dapat merusak kadersisasi politik karena para kandidat hanya terfokus pada upaya mengumpulkan uang sebanyak mungkin untuk membeli suara masyarakat. Mereka tidak pernah berpikir soal meningkatkan kapasitas diri sebagai   seorang calon pemimpin yang  baik.  Politik uang juga mengakibatkan kandidat politik berambisi terus  maju dalam kompetisi politik karena menganggap uang mereka akan kembali memenangkan kompetisi politik.

4. Potensi Korupsi
Politik uang menambah daftar panjang kasus korupsi pejabat publik di  Indonesia.  Korupsi dilakukan oleh  para pejabat publik akibat biaya politik yang tidak murah, di mana pejabat tersebut mencuri uang rakyat   untuk mengembalikan kerugian atau pengeluaran selama kampanye pemilu.

c. Pandangan Gereja Katolik terhadap Politik Uang

Gereja katolik secara tegas menyerukan penolakan terhadap politik uang, sebagaimana ajaran yang  tertuang dalam kitab suci, bahwa suap dapat  “membuat  buta  mata  orang-orang  bijaksana  dan  memutarbalikkan  perkataan  orang-orang  yang benar”  (Bdk.  ulangan  16:19).  Orang  melakukan  suap  karena tergiur keuntungan sekejap, seperti anak-anak Samuel yaitu Yoel dan Abia, “...  tidak hidup seperti  ayahnya; mereka mengejar laba, menerima suap dan memutarbalikkan keadilan” (Bdk. 1 samuel 8:3).

Hal ini juga yang dilakukan oleh para kandidat politik yang memainkan politik uang. Mereka mengharapkan perolehan suara yang banyak dengan sekejap tanpa mau bersusah payah meningkatkan kualitas diri dan  melakukan pendekatan yang baik dengan masyarakat seperti seharusnya seorang calon pemimpin yang berintegritas.

Santo  Paulus  mengatakan  bahwa  cinta  uang  adalah  akar  dari  segala  kejahatan.  Bukan  hanya  praktik  suap,  menerima  suap  juga dapat membawa celaka, seperti yang dia tuliskan, “sebab oleh memburu  uanglah  beberapa  orang  telah  menyimpang  dari  iman  dan   menyiksa   dirinya   dengan   berbagai-bagai   duka”   (1 Timotius   6:9-10).  menerima  uang  suap  dan memberikan  dukungannya  bagi  kandidat  politik  yang  memainkan  politik  uang  dapat  menggerus  kualitas   praktik   demokrasi.   Pada   akhirnya   perilaku   itu   hanya   menghasilkan  pemimpin-pemimpin  yang  tidak  bertangung  jawab  serta  menyengsarakan  rakyat  melalui  kebijakan-kebijakannya.

Itulah  mengapa  bukan  hanya  praktik  suap  saja  yang  dikecam  oleh  gereja,  melainkan  juga  perilaku  menerima  atau  mau  disuap  itu  sendiri. Perilaku menerima suap sendiri tercatat pada kitab suci dan dikisahkan  secara  gamblang  pada  zaman  kehidupan  Yesus,  yaitu  Yudas iskariot yang menerima 30 keping uang perak dan mengkhianati Yesus  (Bdk.  matius  26:14-16).  Dia  sendiri  juga  menyesal  setelahnya  dan memilih untuk mengakhiri hidupnya. hal ini menunjukkan bahwa cinta  uang  dalam  wujud  suap  sangat  digarisbawahi  oleh  ajaran  kitab suci, yang tidak hanya “memutarbalikkan keadilan” tetapi juga membawa celaka bagi diri sendiri yang menerimanya.

Politik   uang   tidak   serta   merta   dapat   dihilangkan   dalam   kompetisi politik di indonesia, mengingat ada banyak partai politik dan kandidat  politik  di  segala  tingkatan  yang  telah  mempersiapkan  diri  untuk  meraih  dukungan  masyarakat  pemilih.  sebagai  umat  katolik,  apa yang seharusnya dilakukan untuk mendukung politik bersih?

Tolak Uangnya, Pilih Dengan Hati Nurani

Gereja secara tegas menolak politik uang yang telah secara jelas tertulis dalam kitab suci. Jika kita ingin memilih pemimpin dengan hati nurani, cukup mengatakan tidak pada setiap tawaran suap yang datang pada kita, termasuk yang datang dari kandidat politik/partai politik pilihan kita.

Kita bersyukur kepada Allah karena Bangsa Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang luar biasa dan  keanekaragaman suku, ras, agama, dan budaya yang tak ternilai harganya. Kita wajib berterima  kasih  karena  meskipun  masyarakat  indonesia  beragam,  namun tetap dapat hidup berdampingan satu sama lain dengan rukun dan damai. semua itu berkat penyelenggaraan Ilahi melalui para pejuang dan pendiri Bangsa indonesia yang merumuskan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan hidup berbangsa dan bernegara yang mempersatukan rakyat indonesia dalam perbedaan. Tentu kita tidak ingin karya Allah yang indah ini rusak akibat politisasi SARA.

a. Apa Itu Politisasi SARA

Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat multikultur karena terdiri dari sejumlah besar ras, etnis,  agama, budaya, dan bahasa. Multikulturalisme membentuk masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang menghargai perbedaan atau toleran. Nilai-nilai toleransi yang menjadi kekhasan masyarakat  multikultur ini bermanfaat untuk membina hubungan yang harmonis antarmasyarakat, sehingga mendukung terciptanya kehidupan yang aman dan sejahtera.

Meski demikian, masyarakat multikultur rentan terhadap konflik yang disebabkan oleh perbedaan karena  kondisi masyarakatnya beragam. Sering kali konflik tersebut tidak terjadi secara alami melainkan terjadi  karena sengaja diciptakan untuk kepentingan pihak tertentu. Salah satu ancaman serius bagi kehidupan kebhinnekaan indonesia itu adalah praktik politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan  (sara). 
Sebagaimana kita ketahui, dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan perkembangan era digital, dinamika perpolitikan tanah air diramaikan ujaran kebencian dan provokasi melalui isu sara.

Penggunaan isu sara dalam kompetisi politik baik lokal maupun nasional tidak dapat dihindarkan, mengingat masyarakat Indonesia yang beragam masih menjalankan dan menghidupi adat, agama, dan   kebudayaan mereka. kesukuan, keagamaan, asal-usul, dan golongan masih menjadi identitas yang   penting bagi sebagian besar masyarakat kita.

Tak mengherankan jika kemudian isu identitas digunakan  oleh para politisi sebagai pola pendekatan terhadap masyarakat pemilih dalam persaingan politik. Artinya, para kandidat politik menonjolkan latar belakang, suku, agama, ras, dan golongan sebagai keunggulan  yang mereka miliki untuk menarik pemilih, bukan visi dan misi atau program kerja guna memajukan  kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara.

b. Dampak Politisasi SARA

Praktik politisasi sara tidak dapat dibenarkan dalam Pilkada, Pileg, maupun Pilpres. Beberapa dampak  buruk  politisasi sara, antara lain:

1. Masyarakat Pemilih Kehilangan Nalar dan Daya Kritis
Apabila tidak disikapi dengan bijak, politisasi SARA dapat melemahkan rasionalisme dan daya kritis   masyarakat pemilih. Politisasi sara mengajak masyarakat untuk memilih para kandidat politik berdasarkan  sentimen identitas kesukuan, agama, ras atau golongan, bukan pada integritas dan agenda kerja yang  mereka usung dalam rangka menjawab permasalahan publik.

2. Pemilu Menjadi Tidak Berkualitas
Masyarakat pemilih yang mengukur kelayakan para kandidat politik hanya karena semata-mata memiliki  kesamaan suku, ras, agama atau golongan, membuat pemilu menjadi tidak sehat dan tidak berkualitas. Pemilu yang seharusnya menjadi mekanisme demokratis untuk menyeleksi calon pemimpin menjadi  sia-sia karena tidak dapat memilih pemimpin terbaik yang diharapkan rakyat. Para politisi yang menggunakan isu sara sebagai komoditas tidak akan menjadi pemimpin yang mengedepankan  kepentingan umum, melainkan kelompoknya sendiri.

3.Menciptakan Stigma
Politisasi sara menciptakan stigma dan membawa kerugian bagi kelompok atau kandidat politik yang  mendapat serangan.  Hal ini melahirkan benih-benih kebencian di tengah masyarakat dan diskriminasi terhadap individu atau kelompok yang mereka anggap berbeda.

4. Mengikis Kebinekaan
Penggunaan isu sara untuk menarik dukungan elektoral dapat mengikis kebinekaan yang merupakan   bangunan utama NKRI. Politisasi sara yang sering kali diwarnai dengan ujaran kebencian meningkatkan   suasana sektarian pada masyarakat. Masyarakat kemudian  terkotak-kotak  pada  kepentingan  politik  dan  semakin tidak toleran terhadap pihak yang mereka anggap berbeda. Kondisi ini sangat tidak sesuai dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

5.Potensi Konflik Sosial dan Disintegrasi Bangsa
Terkikisnya   nilai-nilai   kebinekaan   dalam   masyarakat   berpotensi   melahirkan  konflik  sosial  yang  dapat  mengakibatkan  disintegrasi bangsa. Sebagaimana kita ingat, konflik yang melibatkan sentimen rasial pada tahun 1998 dan konflik antaragama yang terjadi di Ambon pada  tahun  1999  menunjukkan  bahwa  bangsa  ini  rentan  terhadap perbedaan yang dimilikinya. Politisasi sara sangat membahayakan bangsa Indonesia, karena merongrong dan memecah  belah kerukunan masyarakat.

c. Pandangan Gereja Katolik Terhadap Politisasi SARA

Gereja katolik secara tegas menolak praktik politisasi sara dalam  kompetisi  politik  di  indonesia,  baik  Pilkada,  Pileg,  maupun  Pilpres.  Demikian  juga  umat  katolik  wajib  mengatakan  tidak  pada  praktik  politisasi sara sebagai wujud kecintaan sebagai warga gereja maupun sebagai  warga  negara  indonesia  yang  meyakini  Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Politisasi sara jelas bertentangan dengan Bhinneka Tunggal  Ika  dan  sila  ketiga  Pancasila  yaitu  persatuan  Indonesia. untuk itulah gereja dan umat Katolik Indonesia sebagai bagian dari NKRI  berpartisipasi  dalam  mempertahankan  NKRI  dengan  turut  menguatkan  nilai-nilai  Bhinneka  Tunggal  Ika  dan  Pancasila.  Hal  ini  mengingatkan  kembali  pada  semboyan  yang  telah  diwariskan  oleh  Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ, yang berbunyi, “100 persen Katolik, 100 persen Indonesia.” perjuangan gereja Katolik di Indonesia adalah perjuangan orang yang beriman Katolik untuk kesejahteraan Bangsa Indonesia.

Politisasi  sara  jelas  bertentangan  dengan  ajaran  gereja Katolik  untuk  memupuk  cinta  kasih antarumat manusia  dan  di antara  bangsa-bangsa  (Deklarasi  konsili  Vatikan  II  “Nostra  Aetate”, Pengantar).  Kitab Suci  mengajarkan  kita  untuk  memelihara  kasih persaudaraan  (bdk. ibrani  13:1). Seperti  yang  telah  dijelaskan  di atas,  politisasi  sara  merupakan  praktik  eksploitasi  sara  untuk  kepentingan  politik yang dapat merusak persaudaraan dan kerukunan  masyarakat.  Untuk  itulah politisasi  sara  tidak  sesuai  dengan nilai-nilai ajaran gereja Katolik yaitu memelihara kerukunan dan   mengusahakan   terciptanya   cinta   kasih   persaudaraan   (bdk. Roma 12:10).

d. Bagaimana Umat Katolik Melawan Politisasi SARA

Banyak hal yang bisa dilakukan umat Katolik untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan politik yang   sehat tanpa politisasi sara.
Pertama, umat  Katolik sebagai warga negara Indonesia harus menerima NKRI dengan nilai-nilai Pancasila  dan  Bhinneka Tunggal ka-nya sebagai cara hidup warga negara Indonesia. Mencintai  tanah  air  berarti  ikut  mewujudkan  nilai-nilai  Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dengan menolak segala bentuk politisasi sara untuk kepentingan politik yang dapat merusak keutuhan NKRI.
Kedua, sesuai ajaran cinta kasih Yesus, umat Katolik harus menjadi  agen  perdamaian  dengan  tetap  menjalin  persahabatan  dengan  semua  orang  tanpa  memandang  latar  belakang  sara.  Di tengah  dinamika  politik  yang  tidak  sehat  akibat  politisasi  sara, umat Katolik harus tetap hadir sebagai ‘garam, ragi, dan terang’ (bdk. Matius  5:14-16)  yang  mempromosikan  kerukunan  antarmasyarakat  yang terkotak-kotak akibat sektarianisme.
Ketiga, umat Katolik harus terlibat langsung dalam melawan politisasi  sara.  media  sosial  merupakan  salah  satu  media  yang  arus  informasinya  tidak  dapat  dibendung  dalam  menyebarkan berita palsu dan hoaks bermuatan kebencian serta provokasi sara seputar  kandidat  politik.  umat  katolik  harus  menjadi  umat  yang  cerdas  dalam  bersosial  media  dengan  tidak  turut  menyebarkan  atau memproduksi infomasi yang tidak bertanggung jawab. Media komunikasi harus menjadi sarana perdamaian sejati, mengabdi pada kebenaran, bukan agen propaganda dan disinformasi.
Keempat,  menjadi  umat  yang  cerdas  dengan  mempelajari  visi  misi  dan  program  kerja  para  politisi.  pengetahuan  yang  cukup terhadap  calon  pemimpin  sangat  bermanfaat  agar  masyarakat pemilih tetap netral dalam memilih calon pemimpin mereka. Dengan pengetahuan yang mewadahi, masyarakat pemilih akan menentukan pemimpin  mereka  berdasarkan  integritas  dan  kompetensi  yang  diperlukan  untuk  membangun  masyarakat,  bukan  mengedepankan  kesamaan identitas berbasis sara (bdk. Markus 2: 23-28).
Kelima, saat ini pemerintah telah menggagas secara serius  terkait  penyelenggaraan  pemilu  baik  lokal  maupun  nasional,  termasuk di dalamnya sanksi pelanggaran. umat katolik diharapkan menjadi  warga  negara  yang  aktif  dengan  turut  mengawal  praktik politik di daerahnya, salah satunya dengan melaporkan pelanggaran-pelanggaran  yang  terjadi  seperti  isu  sara  dalam  materi  kampanye  kandidat politik.

Tempat Ibadah Jangan Dijadikan Tempat Kampanye

Dalam perikop “Yesus menyucikan Bait Allah (Bdk. Yoh 2:13-25), Yesus  menunjukkan  kemarahannya  ketika melihat hiruk pikuk para penukar uang dan pedagang hewan persembahan  yang berjualan  di  depan  Bait  Allah,  yang  seharusnya  merupakan  tempat  yang suci. Menjelang  Pemilu,  kandidat  politik  berkompetisi  dalam  menggalang  dukungan  masyarakat  tak terkecuali  umat  beragama.  Sering  kali kegiatan  kampanye  dilakukan  di  tempat  ibadah  untuk  meraih  suara umat. Bagaimana Gereja dan warganya bersikap terhadap kampanye politik di tempat ibadah?

a. Tempat Ibadah tidak boleh dijadikan Tempat Kampanye

Penggunaan   tempat   ibadah   sebagai   sarana   melakukan kegiatan  kampanye  politik  merupakan  hal  yang  dilarang. Hal  ini  diatur dalam undang-undang nomor 10 tahun 2016 atau yang dikenal sebagai  UU  Pilkada.  Tidak  hanya  itu,  selain  dilarang  menggunakan  tempat ibadah, pemasangan alat peraga kampanye seperti spanduk atau  stiker  juga  dilarang  di  tempat  ibadah  dan  halamannya. Ada  sanksi  tegas  bagi  pelanggar  yang  tertuang  pada  pasal  70  ayat  (2)  UU no.10  tahun  2016,  yaitu  peringatan  tertulis  dan  penghentian kegiatan kampanye di tempat terjadinya pelanggaran. Kampanye di tempat ibadah, dalam hal ini di gereja, tidak dibenarkan karena beberapa alasan.

1.Gereja  merupakan  tempat  yang  suci,  sehingga  seharusnya  bebas dari urusan keduniawian seperti kampanye politik.

2.Kampanye di tempat ibadah berarti melakukan politisasi sara, karena  kandidat  politik  menggalang  dukungan  umat  agama  tertentu. Isu agama adalah isu yang sangat sensitif. Kampanye sering   kali   tidak  hanya   memperkenalkan kandidat politik dan program   kerja,   tetapi   juga   dikhawatirkan   melontarkan   ujaran  kebencian  terhadap  kandidat  lain  dengan  isu  identitas.  Politisasi  sara  secara  tegas  ditolak  oleh  gereja  karena  tidak  sesuai  dengan  semangat  Bhinneka Tunggal  Ika  dan  ajaran  gereja sendiri.

3.Hierarki  dalam  hal  ini  para  Bapak uskup, pastor,  dan  Diakon harus  netral. mereka  tidak  boleh  berpolitik praktis, sehingga tidak seharusnya mengizinkan gereja sebagai tempat kampanye untuk menjaga netralitas gereja.

b. Pandangan Gereja Katolik terhadap Kampanye di Tempat Ibadah

Larangan  menggunakan  tempat  ibadah sebagai tempat kampanye  politik  tidak  hanya  diserukan  oleh  gereja  Katolik,  tetapi juga  para  pemuka  agama  lain.  sikap  gereja  adalah  tegas  menolak  kampanye di tempat ibadah karena berpotensi pada politisasi sara. Dalam Injil Yoh   2:13-25 dikisahkan   bahwa   Yesus   mengusir para penukar uang  dan  pedagang  hewan  persembahan  yang  berjualan  di halaman Bait Allah. Penyebab kemarahan Yesus adalah penipuan yang dilakukan oleh orang-orang yang berbisnis di depan Bait Allah. Para penukar uang menjalankan bisnis penukaran uangnya, di mana orang yang menggunakan uang asing harus lebih dulu ditukar dengan setengah  shekel  (tyrian)  untuk  bisa  membeli  hewan  persembahan.  Dalam  proses  penukaran  uang  ini  tentu  terjadi  kecurangan  karena para  penukar uang mengambil untung dari orang-orang yang datang dari segala penjuru untuk beribadat di Bait Allah. Belum lagi kecurangan yang dilakukan oleh para penjual hewan persembahan.  kegiatan   bisnis   ini   tentunya   melibatkan   pengelola   Bait  Allah. Melihat  hal  ini  Yesus  marah  karena  melihat  Bait  Allah  yang  seharusnya menjadi tempat suci, tempat menyembah Allah, dijadikan tempat orang meraup keuntungan duniawi.

Demikian  halnya  kampanye  politik,  tentunya  tidak  dapat  bersih   dari   mencari   keuntungan   bagi   diri   sendiri   seperti   yang   dilakukan oleh para penukar uang dan penjual hewan persembahan. ketika   Yesus  marah   dan   mengusir   para   penukar   uang   serta   pedagang  di  Bait  allah,  Yesus  mengatakan, “Cinta  untuk  rumah-mu menghanguskan  aku”  (  Yoh  2:17).  Yesus  marah  karena  cinta-nya  kepada  Allah,  yang  Dia  tunjukkan  dengan  menyucikan  Bait  allah dari  orang-orang  yang  sibuk  memikirkan  uang,  bukan  bermaksud  menyembah allah di Bait Allah. Yesus  mengajarkan  bahwa  allah  Bapa  adalah  yang  harus  kita  dahulukan,  yang  harus  kita  cintai  lebih  dari  segala  sesuatu  (bdk.  matius  22:37).  Cinta  terhadap  keduniawian  seperti  uang  dan  jabatan  tidak  boleh  menggantikan  kasih  kita  kepada  allah,  apalagi hal  ini  dilakukan  di  rumah  allah  sendiri.  Bisnis  yang  dilakukan  oleh para penukar uang dan pedagang di Bait allah, sama halnya dengan kampanye   yang   dilakukan   oleh   para   kandidat   politik   di   gereja. Sesungguhnya perbuatan yang mereka  lakukan semata-mata untuk kepentingan  diri  sendiri  yang  seolah-olah  dilakukan  demi  nama  Tuhan.  hal  inilah  yang  ditentang  oleh  Yesus  ketika Dia  mengusir orang-orang dari Bait Allah.

Kampanye di tempat ibadah tak jarang terkait dengan politisasi sara, karena kandidat politik jelas  menyasar pada masyarakat pemilih yang merupakan warga gereja Katolik. Meskipun tidak  berarti  selalu  mendiskreditkan  kandidat  politik  lain,  politisasi  sara  jelas-jelas  ditolak  oleh  gereja  Katolik  karena  merongrong  persatuan  indonesia  dan  bertentangan  dengan  ajaran  Cinta  kasih  Yesus. Dalam  meningkatnya  eskalasi  politik  akibat  pilkada,  pileg  maupun  pilpres,  gereja  Katolik harus  tetap  netral.  Dengan  tidak  mengijinkan gereja menjadi tempat kampanye, berarti Gereja dan umat  Katolik  tidak  terkotak-kotakkan  akibat  kepentingan  politik  dan turut menjadi agen perdamaian di tengah masyarakat (bdk. Yoh 20:21).

c. Gereja dan Umat Katolik Dapat Berpartisipasi

Dalam  rangka  menjaga  netralitas  gereja  katolik  dalam  pilakada,  pileg, dan pilpres ada beberapa hal yang dapat dilakukan : 
1.  Penggunaan  tempat  ibadah  sebagai  tempat  kampanye  politik  sesungguhnya  tidak  semata-mata  dilakukan  secara  fisik dengan  menggunakan  gereja  dan  segala  fasilitasnya.  Makna yang lebih luas dari ini adalah umat harus berpartisipasi secara aktif  untuk  menolak  kampanye  politik  yang  memanfaatkan mimbar agama Katolik, seperti doa dan pertemuan lingkungan. Doa dan pertemuan   lingkungan adalah gereja, Tempat  bersatunya umat dengan Allah, sehingga tidak seharusnya menjadi sarana untuk mencapai keuntungan yang sama sekali tidak bermotif cinta kasih kepada Allah, melainkan untuk diri sendiri dan kelompoknya (bdk. matius 6:33-34).

2. Gereja dan umat katolik harus bersikap tegas dengan menolak bantuan  dari  para  kandidat  politik  di  masa  kampanye  agar  tidak  terperangkap  dalam  politisasi  sara.  Kampanye  dalam gereja dapat terwujud dalam bentuk pemberian bantuan untuk menarik  simpati  umat  katolik.  menerima  bantuan  dari  para kandidat  politik  di  masa  kampanye  sama  halnya  menjadikan  gereja sebagai sarana kampanye.

3.  Gereja  dan  umat  katolik  tidak  diperkenankan  memihak  salah satu  kandidat  politik.  Gereja  harus  turut  menciptakan  politik  yang sehat dan berkualitas dengan cara mendidik umat untuk memilih   pemimpin   yang   berintegritas   dan   mengedepankan   kepentingan umum, bukan memihak pada salah satu kandidat apalagi dengan alasan keagamaan.



Tidak Terpengaruh Kabar Bohong Dan Ujaran Kebencian

Dinamika kehidupan bersosial di masyarakat mengalami perubahan serta perkembangan yang begitu cepat. Setiap manusia memiliki kebutuhan untuk menyampaikan dan mendapat informasi sebagai sebuah pemenuhan syarat makhluk sosial dan demi keberlangsungan sebuah relasi humanis. Derasnya arus informasi yang  beredar baik melalui komunikasi verbal, media cetak, media elektronik, bahkan saat ini  semakin cepat lagi dengan teknologi digital, seolah tidak dapat dibendung dan terus mengalir. Dari beragam informasi atau berita yang selalu hadir dan baru itu juga, kita sebagai umat Katolik selalu di   ingatkan untuk senantiasa menyampaikan kabar baik kepada setiap orang.

Dewasa ini kabar kebenaran seolah tergerus dengan banyaknya informasi atau kabar bohong (hoaks)  yang justru menyebabkan banyak kekacauan dan menimbulkan perpecahan di tengah damainya masyarakat. Terlebih gaya komunikasi yang cenderung menyudutkan dan kerap kali bernada kebencian  yang mengakibatkan hilangnya keadaban kita sebagai manusia. Ujaran kebencian (hate speech) yang mendasarkan pada sentimen pribadi atau kelompok hanya akan semakin memperburuk keadaan yang sudah berjalan dengan aman dan damai di tengah masyarakat. 

Untungnya sekarang ini negara kita sudah memiliki undang-undang yang mengatur tentang informasi dan transaksi elektronik disingkat ITE, sebagai  upaya penegakan hukum untuk menindak tegas para penyebar berita bohong serta ujaran kebencian, serta untuk melindungi masyarakat dari serangkaian kabar bohong  atau pun ujaran kebencian yang sengaja digulirkan pihak-pihak yang tidak menginginkan Indonesia damai.

a. Sikap Gereja Terhadap Maraknya Kabar Bohong

Kemunculan kabar bohong dan ujaran kebencian yang semakin masif menjadi keprihatinan sekaligus tantangan bagi umat Katolik untuk turut ambil bagian dalam melawan dan memutus mata rantai kabar  bohong dan ujaran kebencian yang beredar di masyarakat melalui beragam media. Bapa Suci Paus  Fransiskus, pernah membacakan sebuah dokumen yang dibuatnya dalam rangka menyambut hari Komunikasi Sedunia tahun 2018, juga mengecam penggunaan media sosial untuk kepentingan manipulatif. Berita palsu yang beredar dan dipercayai menjadi awal keributan karena memancing perhatian orang-orang dengan memberikan stereotipe serta prasangka sosial yang dapat mengeksploitasi emosi  sesaat, kegelisahan, penghinaan, kemarahan, bahkan frustasi. Kabar bohong dan ujaran kebencian adalah tanda sikap arogan dan intoleran, yang hanya melahirkan hipersensitif bahkan perpecahan. 

Kisah Adam dan Hawa di dalam Kitab Kejadian menjadi contoh betapa kabar bohong atau hoaks dapat   menjatuhkan manusia ke dalam sebuah dosa. Relasi baik antara Tuhan dengan manusia sebagai ciptaan-Nya yang dianggap sungguh sangat baik pun terputus karenanya.  Hawa mendapat sebuah kabar  bohong dari iblis dalam wujud seekor ular bahwa dengan memakan buah terlarang, maka dirinya akan  menjadi setara dengan Tuhan Sang Pencipta. Hawa yang mempercayai berita bohong itu pun mengajak Adam. Akibatnya, dua manusia itu dihukum Tuhan karena tidak mematuhi perintah-Nya dan lebih memilih  mempercayai tipu daya dari iblis dari pada menjauhi larangan-Nya. Mereka harus diusir dari taman Eden dan menjalani hukuman dengan bersusah payah untuk mencukupi kebutuhan hidupnya karena melanggar perintah Tuhan.

b. Hoaks Dan Ujaran Kebencian Merusak Demokrasi

Dalam konteks pesta demokrasi, khususnya pada saat pemilu, kita selalu berharap kabar bohong dan ujaran kebencian tidak akan pernah muncul lagi dan hilang dari masyarakat kita. Sebab jika kabar bohong atau pun ujaran kebencian masih ada dan semakin masif, hal tersebut akan merusak demokrasi yang selama ini kita jaga bersama. Sebagai pemilih yang cerdas tentunya kita aktif mencari kebenaran dari sebuah informasi yang kita terima dari mana pun. Terlebih jika menyangkut pada pilihan yang akan kita ambil pada saat pemungutan suara nantinya. Dampak buruk kabar bohong dan ujaran kebencian selama  proses pemilu, antara lain:

1.    Berpotensi menyebabkan kondisi masyarakat saling curiga. Hal ini akan membuat keretakan relasi yang selama ini terjalin baik di antara masyarakat. Dan jika kondisi ini tidak segera diakhiri maka dapat mengakibatkan pola hubungan sosial di masyarakat menjadi berubah agresif. Akan bermunculan kelompok-kelompok di dalam masyarakat yang saling mengawasi dalam perspektif negatif dan mudah diadu domba.
2.   Berpotensi melahirkan permusuhan dan perpecahan di tengah masyarakat yang damai.  Adanya kabar  bohong dan ujaran kebencian hanyalah akan membuat orang semakin membenci dan muaranya sampai pada sebuah tindakan intimidasi hingga persekusi yang sangat bertentangan dengan hukum.
3.   Berpotensi memengaruhi pilihan seseorang dalam pengambilan suara saat pemilu. Pilihan yang diambil  berdasarkan kabar bohong dan ujaran kebencian justru semakin menjauhkan cita-cita dan akan perubahan ke arah yang lebih baik terlebih kesejahteraan bersama yang menjadi harapan rakyat.
4.  Memunculkan bibit dendam yang tidak mudah dihentikan bahkan menjadi laten.  Akibatnya, masyarakat  menjadi mudah tersulut emosi. Semakin parah apabila dendam itu sampai menjalar kepada anak-anak yang notabene generasi penerus.

Kabar bohong dan ujaran kebencian hanya akan menimbulkan perpecahan, mengancam persatuan, tidak  akan bisa membawa kedamaian, serta merusak keadaban publik. Sehingga pemilu yang diharapkan menjadi jembatan sebuah perubahan atas kondisi masyarakat menuju ke arah yang lebih baik justru tercemar dan jauh dari hasil yang diimpikan akibat kemunculan kabar bohong dan ujaran kebencian.
Tidak ada dampak positif yang timbul dari sebuah pilihan berdasarkan sebuah kabar bohong dan ujaran kebencian. Kabar bohong dan ujaran kebencian sungguh dapat merusak demokrasi yang saat ini sudah  semakin tertata dengan baik.  Bencana Sosial akibat kabar bohong dan ujaran kebencian biasanya akan  berlangsung lama dan mengakibatkan situasi terus memanas. Oleh sebab itu, segala macam kabar bohong dan ujaran kebencian harus dihentikan.

c. Menangkal Kabar Bohong dan Ujaran Kebencian

Umat beriman yang senantiasa menjadi garam dan terang dunia, sudah semestinya bersama-sama menolak dan berupaya untuk menghentikan adanya berita bohong dan ujaran kebencian yang beredar di  masyarakat. Berita bohong dan ujaran kebencian bertentangan dengan Iman Katolik yang selalu menebarkan warta sukacita dan cinta kasih. Untuk menangkal kabar bohong serta ujaran kebencian dapat dimulai dengan :

1.      Tidak mudah terpengaruh dan percaya atas setiap kabar atau informasi yang kita terima baik melalui pesan verbal, tulisan, terlebih lewat media sosial.
2.      Melakukan penelusuran akan kebenaran berita atau informasi melalui orang-orang yang kita anggap  dapat memberikan penjelasan, atau melalui teknologi alat pencari di internet. Hati-hati dengan judul berita yang bernada provokatif, cermati alamat situsnya,  apakah memang dapat dipercaya atau hanya memang media abal-abal.
3.  Tidak ikut menyebarkan kabar atau informasi sebelum kita pastikan sendiri dan yakin akan kebenarannya. Filter utama dan pertama adalah kita.
4.    Cerdas dalam bermedia sosial dalam arti mampu secara bijak menggunakan media sosial sebagai sarana untuk berkomunikasi dan menyebarkan kabar suka cita dan kebenaran

Di sadur dari Serial Buku Pengawasan Partisipatif (BERSAMBUNG BAG. IV)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar