KWI, LSM Imbau Tokoh Agama Tidak Gunakan Kotbah untuk Kampanye - Warta Katolik

Breaking

Bagi Yang Ingin Kegiatannya Dipublikasikan Di Blog Ini, Mohon Hubungi WA No. 081345227640

Jumat, 30 Maret 2018

KWI, LSM Imbau Tokoh Agama Tidak Gunakan Kotbah untuk Kampanye

JAKARTA - Komisi Kerasulan Awam (Kerawam) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) dan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) mengimbau para tokoh agama agar tidak menggunakan ceramah atau kotbah yang disampaikan di tempat ibadah sebagai alat untuk mendulang suara dan meraih kemenangan dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak yang akan berlangsung pada Juni nanti.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengumumkan masa kampanye untuk Pilkada serentak di 17 propinsi, 39 kotamadya dan 115 kabupaten yang akan berakhir pada 23 Juni, empat hari menjelang Pilkada serentak.

“Dengan melihat pengalaman tahun lalu, banyak tokoh agama masuk ranah politik praktis dan tanpa sengaja dipakai oleh kelompok tertentu untuk memenangkan Pilkada,” kata Pastor Paulus Christian Siswantoko Pr, sekretaris eksekutif Komisi Kerawam KWI, kepada ucanews.com, Senin (26/3).

“Tahun ini tidak banyak berubah karena jualan politik masih sangat laris. Isu suku, agama, ras dan antar-golongan (SARA) masih menjadi komoditas politik,” katanya.

“Apalagi pengetahuan politik masyarakat rendah. Politisi memanfaatkan ini untuk mencari keuntungan dan seakan-akan meng-copy paste Pilkada DKI,” lanjutnya.

Menurut imam diosesan itu, Komisi Kerawam KWI telah meminta para tokoh agama Katolik untuk tidak menggunakan gedung gereja sebagai tempat kampanye dengan memasang spanduk dan poster di lingkungan gereja. Pertemuan umat di lingkungan juga tidak bisa dipakai untuk menyampaikan pesan politik.

“Kita berharap Gereja memberi contoh bagaimana agama menjadi pendorong moral dan tidak masuk politik praktis,” tegas Pastor Siswantoko.

Sejumlah kelompok Islam garis keras mengeksploitasi sentimen agama untuk mendukung kampanye mereka pada Pilkada DKI Jakarta tahun lalu. Front Pembela Islam (FPI) mengklaim bahwa penggunaan dakwah di masjid-masjid membantu mendulang suara untuk para kandidat Muslim.

Hal ini mendorong Anies Rasyid Baswedan untuk memenangkan Pilkada tersebut dan mengalahkan gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, yang dituduh melakukan penistaan agama.

Oleh karena itu, Pastor Siswantoko dan beberapa pemimpin LSM, termasuk Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia (Interfidei), bertemu pada Minggu (25/3) untuk menyampaikan keprihatinan mereka.

Dalam pernyataannya, mereka mengatakan “para tokoh agama hendaknya dalam ceramah dan kotbah di rumah ibadah memberikan kesejukan dan mendorong umat agar tetap bersaudara satu sama lain meskipun pilihan politiknya berbeda-beda.”

Mereka juga mengatakan “saat agama sering dipolitisasi seperti sekarang ini, agama benar-benar direndahkan karena hanya dijadikan sarana untuk mendulang suara dan alat meraih kemenangan” dan “eksistensi dan martabat agama yang amat agung, luhur dan mulia itu telah direduksi dan dipakai secara tidak terhormat untuk meraih kekuasaan.”

Mereka menegaskan bahwa para tokoh agama “bertugas untuk mengembalikan kedaulatan agama, sebagai pencerah, pendamai, pemegang otoritas moral dan pengkritik terhadap hal-hal yang merendahkan martabat kehidupan dan memecah-belah bangsa” dan “membuat politik mempunyai nilai dan benar-benar menjadi sarana untuk membangun kesejahteraan bersama.”

Direktur Interfidei Elga Joan Sarapung menganggap penggunaan ceramah dan kotbah untuk kampanye politik sebagai pembodohan.

“Bagi saya itu sangat melemahkan daya kritis umat yang adalah warga masyarakat. Melemahkan dalam arti sebagai alat untuk ‘membodohi umat.’ (Ceramah dan kotbah) itu bukan ruang politik dan seharusnya calon-calon pemimpin jangan memakai ruang-ruang agama untuk membodohi umat dan melemahkan makna dari ruang-ruang agama. Ini menyedihkan sekali,” katanya kepada ucanews.com.

Ia menyebut Pilkada DKI Jakarta tahun lalu sebagai contoh “betapa ruang-ruang agama – masjid-masjid – dipakai untuk tempat berkumpul, mendengar ceramah, bahkan ada yang mendengar ujaran kebencian.”

Sementara itu, Pendeta Henriette Tabita Lebang, ketua umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), sepakat dengan imbauan tersebut. Ia mengatakan tempat ibadah seharusnya tidak digunakan untuk melakukan kampanye Pilkada.

“Kita tidak mengharapkan kotbah menjadi alat untuk mengusung kandidat tertentu sebab pilihan warga jemaat berbeda-beda. Ini harus dihargai,” katanya kepada ucanews.com, seraya menambahkan bahwa PGI minggu lalu mengeluarkan Surat Gembala Paskah yang juga menyinggung pesan serupa.

Pertengahan Februari lalu, beberapa kelompok Islam di Mataram, Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), memasang spanduk yang berisi pesan penolakan kampanye Pilkada di lingkungan masjid. Satu spanduk dipasang di Masjid Raya Hubbul Wathon Islamic Center.

Sulaiman Damsuri, kepala Masjid Raya Hubbul Wathon Islamic Center, mengatakan tempat ibadah seperti masjid “tetap digunakan sebagai tempat untuk berdakwah tentang ajaran Islam.”

Namun Novel Chaidir Hasan Bamukmin, anggota FPI dan humas Persaudaraan Alumni 212, menolak imbauan tersebut dan menyebutnya sebagai “kesesatan mengatasnamakan agama.”

“Mereka itu ingin memisahkan agama dari politik, dan itu namanya sekularisme. Dan sekularisme itu haram, dan itu sangat menyesatkan,” katanya kepada ucanews.com.

“Untuk Pilkada dan Pilpres (pemilihan presiden), wajib ulama dan umat Islam mengamalkan ayat-ayat politik untuk memilih pemimpin yang beriman dan bertaqwa serta menyerukan kepada umat Islam agar haram atau jangan memilih pemimpin yang mendukung sepilis (sekularisme, pluralisme dan liberalisme), komunis, LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender), penista agama, zinah, kriminalisasi ulama dan kemungkinan yang lainnya yang jelas menabrak Syariat Islam,” lanjutnya.

(Sumber:http://indonesia.ucanews.com/2018/03/29/kwi-lsm-imbau-tokoh-agama-tidak-gunakan-kotbah-untuk-kampanye/pkl.06:27/30-3-2018)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar