JAKARTA - Para tokoh berbagai agama menyebut pemilihan Sinta Nuriyah Wahid oleh Majalah Time baru-baru ini sebagai salah satu tokoh berpengaruh di dunia adalah sebuah hal yang tepat dan layak.
Sinta, 70, isteri Mantan Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dur masuk dalam daftar 100 tokoh paling berpengaruh, di mana ia disebut sebagai ikon pluralisme dan toleransi.
Time menyatakan, Sinta tidak gentar di tengah tantangan dari kelompok Islam garis keras, termasuk terkait sikapnya yang merangkul kelompok perempuan transgender dan memilih untuk mendukung minoritas yang menjadi korban persekusi.
Time juga menyebut tradisi Sinta selama 18 tahun terakhir yang mengadakan tur ke berbagai daerah pada saat bulan Ramadhan untuk kegiatan sahur yang melibatkan komunitas lintas agama.
Helmy Faishal Zaini, sekertaris jenderal Nahdatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesa menyatakan, “keluarga besar NU ikut bangga atas penghargaan itu.”
“Ibu Sinta memang sosok yang tidak mengenal lelah dalam berjuang bagi kemanusiaan,” katanya kepada ucanews.com, 24 April.
“Ia juga sebagai istri yang istiqomah (teguh) meneruskan perjuangan Gus Dur dalam toleransi antarumat beragama,” lanjutnya.
Senada dengan itu, imam aktivis, Romo Antonius Benny Susetyo Pr menyebut, Ibu Sinta adalah sosok yang menggerakkan kesadaran publik untuk menghargai keragaman dan kemajemukan sehingga menjadi pola perilaku hidup semua warga.
“Ibu Sinta selalu mengajak semua pihak untuk memupuk persaudaran dan kebersamaan,” katanya.
Sementara itu, Bonar Gultom, sekertaris umum Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) memuji keteguhan Ibu Sinta, meski ia kerap menghadapi tantangan bahkan kecaman dari komunitas-komunitas tertentu.
“Yang sangat mengharukan adalah di tengah keterbatasan fisiknya, beliau tak pernah henti-hentinya menyambangi dan hadir bersama mereka yang terdiskriminasi. Beliau tak takut kehilangan popularitas di kalangan mainstream yang mayoritas,” katanya.
Dari sejumlah pertemuan dengan Sinta, pesan agar “Jangan pernah menyerah dalam mewujudkan masyarakat yang setara dan bebas dari kekerasan” menjadi yang paling diingat oleh Pendeta Gultom.
Uung Sendana, Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) juga punya kesan sendiri.
Baginya, pluralisme dan toleransi sudah merupakan ‘aliran darah’ Ibu Sinta, yang menyatu dalam setiap kata dan perbuatannya.
“Kegiatan sahur keliling merupakan kegiatan yang jelas menunjukkan bahwa Ibu Sinta adalah ikon Bhinneka Tunggal Ika bernafaskan Pancasila. Beliau melakukan sahur bergandeng tangan dengan berbagai kalangan, tak terkecuali umat Khonghucu,” katanya.
Ia menjelaskan, setiap Idul Fitri, Matakin juga selalu datang ke rumah Ibu Sinta untuk bersilaturahim, sungkem dan dalam banyak kegiatan umat Konghucu mengundangnya untuk hadir.
Ia menjelaskan, ada satu pengalaman yang sangat berkesan, yaitu saat kegiatan buka bersama kaum dhuafa di Belitung, Provinsi Kepulauan Riau, yang diadakan di halaman Kelenteng Hok Tek Ce, di mana kala itu ada kelompok yang menolak.
“Namun, beliau tidak gentar dan akhirnya acara tetap berjalan dengan baik,” katanya.
Kepada umat Konghucu, kata dia, Ibu Sinta kala itu menyatakan ia juga memikirkan tentang apa yang akan mereka alami setelah acara itu, sehingga meminta untuk mendiskusikan lagi penyelenggaraan acara itu.
“Itu menunjukkan, beliau memikirkan orang lain dalam menjalankan misi toleransinya.
Theophilus Bella, seorang tokoh awam Katolik, mantan ketua Forum Komunikasi Kristen Jakarta mengatakan komitmen Ibu Sinta merupakan cahaya yang selalu memberi harapan kepada kelompok minoritas yang menghadapi intimidasi dan gangguan.
“Komitmennya membuat kelompok minoritas selalu optimis bahwa Indonesia akan tetap bisa menjaga toleransi, meski ada kelompok yang selalu ingin mengganggunya,” katanya.
Sementara itu, Pendeta Palti Panjaitan, dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia di Bekasi, Jawa Barat mengatakan Ibu Shinta adalah “seorang ibu yang penuh kasih.”
HKBP terpaksa ditutup beberapa tahun yang lalu setelah mendapat tekanan dari kelompok intoleran.
Panjaitan yang juga ketua kelompok hak-hak Solidaritas Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan mengatakan dia sering bertemu Ibu Sinta dan membahas masalah yang mereka hadapi.
“Pesannya, kita harus saling mengasihi sebagai sesama manusia,” katanya.
Sumber : indonesia.ucanews.com
Sinta, 70, isteri Mantan Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dur masuk dalam daftar 100 tokoh paling berpengaruh, di mana ia disebut sebagai ikon pluralisme dan toleransi.
Time menyatakan, Sinta tidak gentar di tengah tantangan dari kelompok Islam garis keras, termasuk terkait sikapnya yang merangkul kelompok perempuan transgender dan memilih untuk mendukung minoritas yang menjadi korban persekusi.
Time juga menyebut tradisi Sinta selama 18 tahun terakhir yang mengadakan tur ke berbagai daerah pada saat bulan Ramadhan untuk kegiatan sahur yang melibatkan komunitas lintas agama.
Helmy Faishal Zaini, sekertaris jenderal Nahdatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesa menyatakan, “keluarga besar NU ikut bangga atas penghargaan itu.”
“Ibu Sinta memang sosok yang tidak mengenal lelah dalam berjuang bagi kemanusiaan,” katanya kepada ucanews.com, 24 April.
“Ia juga sebagai istri yang istiqomah (teguh) meneruskan perjuangan Gus Dur dalam toleransi antarumat beragama,” lanjutnya.
Senada dengan itu, imam aktivis, Romo Antonius Benny Susetyo Pr menyebut, Ibu Sinta adalah sosok yang menggerakkan kesadaran publik untuk menghargai keragaman dan kemajemukan sehingga menjadi pola perilaku hidup semua warga.
“Ibu Sinta selalu mengajak semua pihak untuk memupuk persaudaran dan kebersamaan,” katanya.
Sementara itu, Bonar Gultom, sekertaris umum Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) memuji keteguhan Ibu Sinta, meski ia kerap menghadapi tantangan bahkan kecaman dari komunitas-komunitas tertentu.
“Yang sangat mengharukan adalah di tengah keterbatasan fisiknya, beliau tak pernah henti-hentinya menyambangi dan hadir bersama mereka yang terdiskriminasi. Beliau tak takut kehilangan popularitas di kalangan mainstream yang mayoritas,” katanya.
Dari sejumlah pertemuan dengan Sinta, pesan agar “Jangan pernah menyerah dalam mewujudkan masyarakat yang setara dan bebas dari kekerasan” menjadi yang paling diingat oleh Pendeta Gultom.
Uung Sendana, Ketua Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin) juga punya kesan sendiri.
Baginya, pluralisme dan toleransi sudah merupakan ‘aliran darah’ Ibu Sinta, yang menyatu dalam setiap kata dan perbuatannya.
“Kegiatan sahur keliling merupakan kegiatan yang jelas menunjukkan bahwa Ibu Sinta adalah ikon Bhinneka Tunggal Ika bernafaskan Pancasila. Beliau melakukan sahur bergandeng tangan dengan berbagai kalangan, tak terkecuali umat Khonghucu,” katanya.
Ia menjelaskan, setiap Idul Fitri, Matakin juga selalu datang ke rumah Ibu Sinta untuk bersilaturahim, sungkem dan dalam banyak kegiatan umat Konghucu mengundangnya untuk hadir.
Ia menjelaskan, ada satu pengalaman yang sangat berkesan, yaitu saat kegiatan buka bersama kaum dhuafa di Belitung, Provinsi Kepulauan Riau, yang diadakan di halaman Kelenteng Hok Tek Ce, di mana kala itu ada kelompok yang menolak.
“Namun, beliau tidak gentar dan akhirnya acara tetap berjalan dengan baik,” katanya.
Kepada umat Konghucu, kata dia, Ibu Sinta kala itu menyatakan ia juga memikirkan tentang apa yang akan mereka alami setelah acara itu, sehingga meminta untuk mendiskusikan lagi penyelenggaraan acara itu.
“Itu menunjukkan, beliau memikirkan orang lain dalam menjalankan misi toleransinya.
Theophilus Bella, seorang tokoh awam Katolik, mantan ketua Forum Komunikasi Kristen Jakarta mengatakan komitmen Ibu Sinta merupakan cahaya yang selalu memberi harapan kepada kelompok minoritas yang menghadapi intimidasi dan gangguan.
“Komitmennya membuat kelompok minoritas selalu optimis bahwa Indonesia akan tetap bisa menjaga toleransi, meski ada kelompok yang selalu ingin mengganggunya,” katanya.
Sementara itu, Pendeta Palti Panjaitan, dari Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia di Bekasi, Jawa Barat mengatakan Ibu Shinta adalah “seorang ibu yang penuh kasih.”
HKBP terpaksa ditutup beberapa tahun yang lalu setelah mendapat tekanan dari kelompok intoleran.
Panjaitan yang juga ketua kelompok hak-hak Solidaritas Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan mengatakan dia sering bertemu Ibu Sinta dan membahas masalah yang mereka hadapi.
“Pesannya, kita harus saling mengasihi sebagai sesama manusia,” katanya.
Sumber : indonesia.ucanews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar