SURABAYA - Dibopong suami dan keluarga dekat, Wenny Angelina, 47, mendekati jasad dua anaknya, lalu menabur minyak wangi setelah Misa requiem yang digelar di rumah duka Adi Jasa di Surabaya, Jawa Timur pada 16 Mei.
Kedua putranya Vincentius Evan Hudojo, 11 dan Nathanael Ethan Hudojo, 8 merupakan dua dari enam korban yang meninggal dalam peristiwa bom bunuh diri di Gereja Katolik St Maria Tak Bercela (SMTB).
Wenny, yang tubuhnya penuh luka, menghadiri upacara itu dilengkapi alat-alat medis, termasuk botol infus yang masih terus tersambung ke tangannya.
Kondisinya masih belum stabil setelah terkena serpihan bom, membuat ia masih harus mendapat perawatan lanjutan.
“Ia hanya diberi waktu empat jam oleh dokter untuk menghadiri upacara itu karena harus melewati perawatan lanjutan,” kata Ratna Handayani, kerabatnya.
Wenny dan kedua anaknya baru saja diturunkan dari mobil pada Minggu, 13 Mei ketika tiba-tiba sebuah sepeda motor yang dikendarai dua remaja bersaudara melaju kencang memasuki gereja dan meledakkan bom yang dipasang di pinggang mereka.
Pelaku, Firman Halim (15) dan kakaknya Yusuf (17) tidak bisa memasuki gedung gereja, setelah berhasil dihentikan oleh seorang petugas keamanan, Aloysius Bayu Rendra Wardhana yang membuat Bayu tewas dan tubuhnya hancur.
Robertus Ditu (23) korban lain dalam kejadian itu yang datang ke gereja hendak mengikuti Misa kedua pada Mingggu itu dan sempat bertemu dengan pelaku di dekat Gereja, mengatakan, ia memilih merem motornya ketika mendengar pelaku yang membunyikan klakson tanpa henti dan mengarahkan kendaraan yang kencang ke gerbang gereja.
“Mendengar bunyi klakson itu, saya merem motor,” kata mahasiswa teknik elektro ini.
“Dalam hitungan detik kemudian, terjadi ledakan. Saya tak sadar lagi, lalu terjatuh. Saya baru mulai sadar atas atas apa yang terjadi setelah ada yang menolong,” katanya.
Saat merabah wajahnya, ada banyak daging dan darah. “Ada serpihak kaca yang menancap di leher dan tangan saya,” katanya, di mana kemudian ia menjalani operasi.
Itu adalah ledakan pertama hari itu, sebelum kemudian, ledakan kembali terjadi di dua gereja Protestan oleh pelaku dari keluarga yang sama, yang berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Di Gereja Kristen Indonesia Jalan Diponegero, ledakan itu hanya melukai penjaga keamanan, oleh ibu dan dua saudari dari Firman dan Yusuf.
Wilianti, 41, seorang Muslim yang bekerja selama tujuh tahun sebagai perawat di gereja itu mengatakan, ia mendengar ledakan saat sedang berada di ruangan perawatan.
“Saya keluar dan kaget melihat tubuh pelaku hancur,” katanya. “Saya lari lagi ke dalam ruangan karena ada yang teriak bahwa itu bom dan melarang saya mendekat.”
Di Gereja Pentekosta Surabaya, di mana ledakan merupakan yang paling parah, menurut Pendeta Jonathan Bintoro, serangan itu terjadi saat ibadah sudah hendak berakhir.
“Bunyi ledakan sangat dahsyat. Api dan asap hitam masuk gereja. Semua jemaat pun lari keluar,” katanya.
Dari 6 korban yang meninggal, salah satunya adalah Martha Djumani, pengurus gereja yang sehari sebelumnya bertunangan dengan kekasihnya.
Trauma
Serangan bom itu, yang merupakan pertama kali terjadi di kota yang terkenal toleran dan menjadi basis Nahdatul Ulama, organsiasi Muslim moderat terbesar, menyisahkan trauma bagi para korban.
“Setiap kali keluar kamar, ada rasa takut, jangan-jangan akan ada bom lagi,” ungkap Ditu kepada ucanews.com.
Ia mengatakan akan cuti kuliah untuk semester ini dan kembali ke kampung halamannya di Manggarai Barat, Flores untuk istirahat.
“Saya masih belum bisa beraktivitas seperti biasa. Pikiran saya tidak lagi fokus pada kuliah,” kata pemuda 23 tahun ini yang kini sedang menempuh semester akhir di Universitas 17 Agustus Surabaya.
Wilianti mengaku terpaksa untuk datang kembali ke gereja pada 15 Mei setelah garis polisi dicabut.
“Saya masih sulit untuk melupakan apa yang saya lihat waktu kejadian,” katanya.
Monica Dewi Andini, isteri Bayu, masih lebih banyak berdiam diri tentang apa yang menimpa keluarganya.
Ia ditinggalkan suaminya yang bekerja sebagai fotografer bersama dua anak yang kini berusia 3 tahun dan 10 bulan.
Sejauh ini, pimpinan gereja-gereja sudah berupaya memberi perhatian pada upaya penyembuhan trauma ini.
Pastor Paroki SMTB, Alexius Kurdo Irianto mengatakan, upaya itu menjadi salah satu agenda utama mereka.
“Membangkitkan semangat umat menjadi salah satu upaya prioritas agar mereka berani datang ke gereja sebagaimana biasanya,” katanya.
Daniel Theopilus Hage, ketua umum majelis jemaat GKI Diponegoro mengatakan, mereka akan melakukan pendekatan dan memberi bantuan, terutama kepada anak-anak.
Pemerintah juga sudah mengambil langkah, di mana pada 17 Mei, Walikota Surabaya Tri Rismaharinimembentuk tim trauma center di mana disediakan lebih dari 100 psikolog.
Pengampunan
Di tengah perasaan trauma, para korban berupaya melihat peristiwa ini dalam kaca mata iman.
Rosalia Iswaty, tanta dari Bayu menyatakan, “ini memang pengalaman menyakitkan.”
“Namun, kami menyakini bahwa Tuhan memiliki rencana besar di balik semua ini,” katanya.
“Yesus bilang, tidak ada kasih yang lebih besar daripada seseorang yang menyerahkan nyawanya. Itulah yang Bayu lakukan, karena ia merelakan nyawanya demi 500-an umat yang saat itu ada dalam gereja,” katanya.
Monica, dalam salah satu postingannya di Facebook menulis berupa pesan yang ditujukan kepada dua anaknya bahwa nanti akan tiba saatnya di mana orang bertanya tentang ayah mereka.
“Kalian dengan bangga akan menjawab, ‘papaku di surga dengan Allah Bapa karena dia jadi martir di gereja,’” tulisnya.
Handayani, kerabat Wenny mengatakan, di tengah peristiwa ini, Wenny akhirnya bisa mengampuni pelaku.”
“Dengan hati yang rela, ia menyerahkan Evan dan Nathan ke pangkuan Tuhan,” katanya.
Pastor Kurdo, yang juga sudah menemui Wenny mengatakan, Wenny menyandingkan pengalamannya itu dengan pengalaman Bunda Maria yang kehilangan anaknya, Yesus.
Meski demikian, kata dia, pengampunan tidak berarti menghentikan proses hukum terhadap siapapun yang terlibat dalam serangan teror ini.
“Dosa selalu memilki dua aspek, perbuatan dan hukuman. Kami mengampuni perbuatannya, tapi hukuman tetap berjalan,” katanya.
Sumber : indonesia.ucanews.com
Kedua putranya Vincentius Evan Hudojo, 11 dan Nathanael Ethan Hudojo, 8 merupakan dua dari enam korban yang meninggal dalam peristiwa bom bunuh diri di Gereja Katolik St Maria Tak Bercela (SMTB).
Wenny, yang tubuhnya penuh luka, menghadiri upacara itu dilengkapi alat-alat medis, termasuk botol infus yang masih terus tersambung ke tangannya.
Kondisinya masih belum stabil setelah terkena serpihan bom, membuat ia masih harus mendapat perawatan lanjutan.
“Ia hanya diberi waktu empat jam oleh dokter untuk menghadiri upacara itu karena harus melewati perawatan lanjutan,” kata Ratna Handayani, kerabatnya.
Wenny dan kedua anaknya baru saja diturunkan dari mobil pada Minggu, 13 Mei ketika tiba-tiba sebuah sepeda motor yang dikendarai dua remaja bersaudara melaju kencang memasuki gereja dan meledakkan bom yang dipasang di pinggang mereka.
Pelaku, Firman Halim (15) dan kakaknya Yusuf (17) tidak bisa memasuki gedung gereja, setelah berhasil dihentikan oleh seorang petugas keamanan, Aloysius Bayu Rendra Wardhana yang membuat Bayu tewas dan tubuhnya hancur.
Robertus Ditu (23) korban lain dalam kejadian itu yang datang ke gereja hendak mengikuti Misa kedua pada Mingggu itu dan sempat bertemu dengan pelaku di dekat Gereja, mengatakan, ia memilih merem motornya ketika mendengar pelaku yang membunyikan klakson tanpa henti dan mengarahkan kendaraan yang kencang ke gerbang gereja.
“Mendengar bunyi klakson itu, saya merem motor,” kata mahasiswa teknik elektro ini.
“Dalam hitungan detik kemudian, terjadi ledakan. Saya tak sadar lagi, lalu terjatuh. Saya baru mulai sadar atas atas apa yang terjadi setelah ada yang menolong,” katanya.
Saat merabah wajahnya, ada banyak daging dan darah. “Ada serpihak kaca yang menancap di leher dan tangan saya,” katanya, di mana kemudian ia menjalani operasi.
Itu adalah ledakan pertama hari itu, sebelum kemudian, ledakan kembali terjadi di dua gereja Protestan oleh pelaku dari keluarga yang sama, yang berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Di Gereja Kristen Indonesia Jalan Diponegero, ledakan itu hanya melukai penjaga keamanan, oleh ibu dan dua saudari dari Firman dan Yusuf.
Wilianti, 41, seorang Muslim yang bekerja selama tujuh tahun sebagai perawat di gereja itu mengatakan, ia mendengar ledakan saat sedang berada di ruangan perawatan.
“Saya keluar dan kaget melihat tubuh pelaku hancur,” katanya. “Saya lari lagi ke dalam ruangan karena ada yang teriak bahwa itu bom dan melarang saya mendekat.”
Di Gereja Pentekosta Surabaya, di mana ledakan merupakan yang paling parah, menurut Pendeta Jonathan Bintoro, serangan itu terjadi saat ibadah sudah hendak berakhir.
“Bunyi ledakan sangat dahsyat. Api dan asap hitam masuk gereja. Semua jemaat pun lari keluar,” katanya.
Dari 6 korban yang meninggal, salah satunya adalah Martha Djumani, pengurus gereja yang sehari sebelumnya bertunangan dengan kekasihnya.
Trauma
Serangan bom itu, yang merupakan pertama kali terjadi di kota yang terkenal toleran dan menjadi basis Nahdatul Ulama, organsiasi Muslim moderat terbesar, menyisahkan trauma bagi para korban.
“Setiap kali keluar kamar, ada rasa takut, jangan-jangan akan ada bom lagi,” ungkap Ditu kepada ucanews.com.
Ia mengatakan akan cuti kuliah untuk semester ini dan kembali ke kampung halamannya di Manggarai Barat, Flores untuk istirahat.
“Saya masih belum bisa beraktivitas seperti biasa. Pikiran saya tidak lagi fokus pada kuliah,” kata pemuda 23 tahun ini yang kini sedang menempuh semester akhir di Universitas 17 Agustus Surabaya.
Wilianti mengaku terpaksa untuk datang kembali ke gereja pada 15 Mei setelah garis polisi dicabut.
“Saya masih sulit untuk melupakan apa yang saya lihat waktu kejadian,” katanya.
Monica Dewi Andini, isteri Bayu, masih lebih banyak berdiam diri tentang apa yang menimpa keluarganya.
Ia ditinggalkan suaminya yang bekerja sebagai fotografer bersama dua anak yang kini berusia 3 tahun dan 10 bulan.
Sejauh ini, pimpinan gereja-gereja sudah berupaya memberi perhatian pada upaya penyembuhan trauma ini.
Pastor Paroki SMTB, Alexius Kurdo Irianto mengatakan, upaya itu menjadi salah satu agenda utama mereka.
“Membangkitkan semangat umat menjadi salah satu upaya prioritas agar mereka berani datang ke gereja sebagaimana biasanya,” katanya.
Daniel Theopilus Hage, ketua umum majelis jemaat GKI Diponegoro mengatakan, mereka akan melakukan pendekatan dan memberi bantuan, terutama kepada anak-anak.
Pemerintah juga sudah mengambil langkah, di mana pada 17 Mei, Walikota Surabaya Tri Rismaharinimembentuk tim trauma center di mana disediakan lebih dari 100 psikolog.
Pengampunan
Di tengah perasaan trauma, para korban berupaya melihat peristiwa ini dalam kaca mata iman.
Rosalia Iswaty, tanta dari Bayu menyatakan, “ini memang pengalaman menyakitkan.”
“Namun, kami menyakini bahwa Tuhan memiliki rencana besar di balik semua ini,” katanya.
“Yesus bilang, tidak ada kasih yang lebih besar daripada seseorang yang menyerahkan nyawanya. Itulah yang Bayu lakukan, karena ia merelakan nyawanya demi 500-an umat yang saat itu ada dalam gereja,” katanya.
Monica, dalam salah satu postingannya di Facebook menulis berupa pesan yang ditujukan kepada dua anaknya bahwa nanti akan tiba saatnya di mana orang bertanya tentang ayah mereka.
“Kalian dengan bangga akan menjawab, ‘papaku di surga dengan Allah Bapa karena dia jadi martir di gereja,’” tulisnya.
Handayani, kerabat Wenny mengatakan, di tengah peristiwa ini, Wenny akhirnya bisa mengampuni pelaku.”
“Dengan hati yang rela, ia menyerahkan Evan dan Nathan ke pangkuan Tuhan,” katanya.
Pastor Kurdo, yang juga sudah menemui Wenny mengatakan, Wenny menyandingkan pengalamannya itu dengan pengalaman Bunda Maria yang kehilangan anaknya, Yesus.
Meski demikian, kata dia, pengampunan tidak berarti menghentikan proses hukum terhadap siapapun yang terlibat dalam serangan teror ini.
“Dosa selalu memilki dua aspek, perbuatan dan hukuman. Kami mengampuni perbuatannya, tapi hukuman tetap berjalan,” katanya.
Sumber : indonesia.ucanews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar