Gereja, OMK dan Politik - Warta Katolik

Breaking

Bagi Yang Ingin Kegiatannya Dipublikasikan Di Blog Ini, Mohon Hubungi WA No. 081345227640

Sabtu, 23 Maret 2019

Gereja, OMK dan Politik


WartaKatolik, SINTANG : Dua dekade sudah berlalu sejak bergulirnya reformasi. Kehidupan demokrasi di Indonesia telah banyak berubah. Masyarakat kini bisa memilih langsung wakil-wakil dan pemimpinnya. Di tengah anggapan umum bahwa politik itu kotor, penuh janji kosong, dan korupsi, bagaimana Gereja memandang politik? Bagaimana seharusnya Gereja, terutama orang mudanya menyikapi dinamika ini?

Untuk Apa Orang Katolik Berpolitik?

Sejak dalam Perjanjian Lama, Allah menghendaki keselamatan semua orang, yang berpuncak pada pemberian diri Allah dalam Yesus Kristus. Keselamatan itu meliputi segala aspek dan dimensi kehidupan, termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara. Itulah sebabnya semua negara dan pemerintahan bertujuan sama, yaitu mewujudkan kesejahteraan umum (bonum commune). Dengan demikian ranah sosial politik menjadi kebun anggur juga bagi kita. Kebun anggur tempat Tuhan mengutus kita menjadi pekerja di sana.

Gereja sebagai komunitas orang beriman merupakan gerakan penebusan dan pembebasan yang berjuang untuk mengusahakan keadilan dan perdamaian. Namun, dalam Pertemuan Nasional Orang Muda Katolik Indonesia tahun 2005, muncul keprihatinan bahwa Gereja kurang berani melibatkan diri secara nyata untuk menanggapi situasi ketidakadilan. Maka dapat dipahami bahwa dalam kehidupan sosial, warga Gereja semakin individualis, materialis, eksklusif, apatis dan hanya menjadi penonton di pinggir lapangan “pergumulan bangsa”.

Pandangan yang tidak benar antara Gereja dan politik kadang semakin memperkuat kesan bahwa Gereja adalah pihak yang pasif dalam kehidupan demokrasi. Padahal pandangan semacam Gereja tabu untuk berpolitik adalah tidak benar. Dalam pandangan Gereja Katolik, semuanya boleh berpolitik karena bagaimana pun politik tidak dapat dipisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Hanya saja ketika sudah memasuki ranah politik praktis (politik dalam tataran kekuasaan pemerintahan), pastor tidak boleh terlibat. Namun umat dan awam justru didorong untuk berani terlibat.

Apa alasannya pastor tidak boleh terlibat dalam politik praktis? Karena seorang pastor harus selalu menjadi gembala yang netral dan objektif. Ketika seorang pastor terlibat dalam politik praktis, dirinya menjadi tidak netral. Hal ini dapat memengaruhi umat untuk melupakan pilihan rasionalnya sendiri dan sekedar mengikuti pastornya, yang belum tentu sesuai dengan aspirasi umat.

Lalu apa peran pastor? Pastor seharusnya menjadi pendamping umat yang terlibat dalam politik. Tugas pastor mendampingi umat agar tujuan politik yang dikejar bisa sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Jadi, antara pastor dan umat bisa saling mendukung untuk mewujudkan bonum commune.

Partisipasi politik umat saat ini adalah harapan gereja seperti tertuang dalam dokumen gereja berikut:

“Hendaknya orang-orang Katolik, yang mahir dalam bidang politik, dan sebagaimana wajarnya berdiri teguh dalam iman serta ajaran Kristiani, jangan menolak untuk menjalankan urusan-urusan umum.” (Apostolicam Actuositatem, 14).

“Mereka yang cakap atau berbakat hendaknya menyiapkan diri untuk mencapai keahlian politik, yang sukar sekaligus amat luhur dan berusaha mengamalkannya tanpa memperhitungkan kepentingan pribadi atau keuntungan materiil.” (Gaudium et Spes, 75).

“Menyinari dan mengatur semua hal-hal fana, yang erat-erat melibatkan mereka, sedemikian rupa, sehingga itu semua selalu terlaksana dan berkembang menurut kehendak Kristus, demi kemuliaan Sang Pencipta dan Penebus” (Lumen Gentium 31).

“Hendaknya para warga negara dengan kebesaran jiwa dan kesetiaan memupuk cinta tanah air, tetapi tanpa berpandangan picik, sehingga serentak tetap memperhatikan kesejahteraan segenap keluarga manusia, yang terhimpun melalui berbagai ikatan antarsuku, antarbangsa, dan antarnegara.” (Gaudium et Spes 75).

Jadi dukungan partisipasi umat dalam kehidupan sosial dan politik sudah ada seperti dokumen-dokumen gereja di atas. Yang terpenting, tujuan partisipasinya adalah demi kepentingan dan kesejahteraan umum . Jika toh tidak berminat untuk terjun dalam politik praktis, umat masih bisa berpartisipasi dengan menggunakan haknya untuk memilih wakil dan pemimpin rakyat dalam pemilihan umum 2019 dan seterusnya secara cerdas dan bertanggung jawab.

Menurut Rama Eddy Kristiyanto, OFM, penulis buku “Sakramen Politik: Mempertanggungjawabkan Memoria”, bagi orang Kristen, terlibat dalam dunia politik itu merupakan rahmat istimewa, mengingat misteri ‘inkarnasi’ sendiri langsung berkaitan dengan hal tersebut. Bukankah suatu pencerahan bagi kegelapan dunia ini ketika Allah menjadi manusia, Ia rela menjadi salah seorang anggota masyarakat warga? Kekotoran dan kehirukpikukan dunia ini tidak menjadikan-Nya miris dan apatis, tetapi justru sebaliknya. Maka secara teologis keterlibatan para anggota Gereja dalam dunia politik mendapat dasar kokoh kuat pada misteri inkarnasi.

Orang Muda Katolik Masa Kini Dan Politik

Membicarakan politik dengan Gereja tentunya harus juga membicarakan kaum mudanya karena orang muda adalah masa depan Gereja. Orang muda adalah penggerak Gereja. Mereka adalah agents of change, individu dan komunitas yang membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat. Namun, kekuatan mereka untuk melakukan perubahan kadang-kadang justru diabaikan dan diremehkan. Padahal, orang muda memiliki pengaruh yang besar untuk melakukan perubahan.

Berikut ini adalah gambaran seberapa besar kekuatan kaum muda dalam ikut bertanggung jawab terhadap kehidupan demokrasi Indonesia. Jumlah penduduk usia muda (15-35 tahun) mencapai 127.724.500 jiwa. Jumlah tersebut hampir separuh dari keseluruhan jumlah penduduk di Indonesia yang jumlahnya 268.369.114 jiwa (sumber:databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/05/18/2018). KPU menetapkan jumlah pemilih untuk Pemilu 2019 sebesar 185.994.249 orang. Artinya suara kaum muda, jika dipakai seluruhnya, adalah kira-kira setengahnya. Dengan demikian posisi orang muda untuk tawar-menawar dalam menentukan masa depan bangsa sangatlah besar.

Di masa lalu, orang muda Katolik telah banyak membuktikan diri mereka sebagai agen perubahan. Perubahan yang memberi warna dalam pergerakan nasional Indonesia. Sejarah Indonesia mencatat nama-nama pemuda Katolik seperti I.J. Kasimo, Mgr. Soegijopranoto, JB. Sumarlin, Cosmas Batubara, Harry Tjan Silalahi, Wanandi bersaudara sebagai tokoh-tokoh Katolik yang berperan dalam sejarah politik Indonesia. Hal ini sesuai dengan yang diharapkan Pastor van Lith ketika mendirikan HIK (Sekolah Guru Katolik) di Muntilan untuk mendidik orang-orang muda sebagai guru bagi bangsanya di tahun 1990.

Lalu bagaimana dengan kiprah orang muda Katolik di masa sekarang? Sekitar akhir November tahun lalu, para relawan pendidikan politik Orang Muda Katolik (OMK) dan delegasi dari 25 keuskupan se-Indonesia bertemu di Klender Jakarta. Mereka difasilitasi oleh Komisi Kepemudaan KWI untuk melaksanakan amanat Gereja Katolik Indonesia untuk ikut mempersiapkan OMK keuskupan-keuskupan demi tugas perutusan mereka di tengah masyarakat.

Dalam pertemuan tersebut disadari bahwa OMK di setiap Komisi Kepemudaan adalah bagian dari denyut demokratisasi Indonesia. OMK juga adalah bagian integral dari Indonesia yang khas dengan beragamnya keadaan geososial-politik. Dengan menjadi bagian integral, artinya OMK juga memiliki tanggung jawab dan hak terhadap negara Indonesia.

Dalam pertemuan tersebut muncul juga keprihatinan yang dianggap cukup menggejala dan mencemaskan. Keprihatinan tersebut adalah gejala umum kalangan OMK yang tahu tetapi tak mau tahu dengan politik. Padahal dengan apa yang diketahui, OMK dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat. Seperti saat ini, ketika rakyat bingung dengan pilihan politik banyak sekali, OMK dapat tampil sebagai information leader, memberikan pengetahuan kepada rakyat. Misalnya, bagaimana menyikapi manuver-manuver politik seperti bagi-bagi uang, bantuan kegiatan, atau mencari simpati massa dengan cara yang bijaksana. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar