JAKARTA - Selompok awam Katolik Indonesia terus berupaya memastikan pilkada pada Juni mendatang dan pemilihan presiden tahun depan tidak dirusak oleh politik sektarian seperti yang terjadi dalam kampanye pemilihan gubernur Jakarta tahun lalu.
Dalam pertemuan nasional tiga hari di Jakarta yang berakhir pada 1 Mei, Vox Point, sebuah organisasi awam Katolik yang terlibat dalam kegiatan sosiopolitik, membahas sikap apa yang harus diambil oleh umat Katolik di tengah iklim politik yang semakin pahit, yang banyak orang katakan berpotensi terus menciptakan perpecahan masyarakat Indonesia yang plural ini.
Kelompok awam Katolik lainnya – Pemuda Katolik – diharapkan membahas masalah yang sama pada pertemuan di Bali akhir pekan ini.
Pertemuan Vox Point, yang juga dihadiri oleh enam uskup dan beberapa pejabat pemerintah, berakhir dengan mempertegas kembali komitmen organisasi ini “menjalankan politik martabat” dan bekerja sama dengan orang lain termasuk kelompok lintas agama dalam memerangi sektarianisme.
“Kami dengan tegas menolak kampanye hitam yang secara negatif menargetkan agama, ras dan etnis dan menggunakan kebohongan dan penganiayaan,” demikian pernyataan sikap kelompok ini.
“Kami akan mendukung polisi, militer, pemerintah daerah dan badan-badan intelijen menegakkan hukum dengan tegas terhadap mereka yang ingin menghancurkan Pancasila,” tambahnya.
Kelompok ini menyerukan kepada para politisi Katolik meningkatkan integritas, menunjukkan kompetensi dan menjunjung nilai-nilai Katolik.
Ketua Vox Point Yohanes Handoyo Budhisejati mengatakan kepada ucanews.com sebuah tren yang mengganggu terus bermunculan dalam politik yang harus segera ditangani.
“Kami khawatir bahwa situasinya akan menimbulkan konflik sosial,” katanya.
Tahun lalu, mantan Gubernur Jakarta, yang adalah seorang Kristen, Basuki Tjahaja Purnama dipenjara karena penodaan agama setelah menggunakan ayat Alquran saat kampanye pilkada DKI Jakarta, dimana di saat yang sama Muslim garis keras menuntut pemilih memilih pemimpin seagama.
Pada 29 April, para pendukung Presiden Joko Widodo diancam oleh kelompok pesaing pada acara Car Free Day mingguan di Jakarta Pusat, yang memicu kemarahan publik.
Kelompok itu juga akan terus menggunakan segala cara mendukung kandidat yang menentang Presiden Joko Widodo, yang mereka beri label anti-Islam.
“Kami tidak mendukung calon tertentu, tetapi kami prihatin tentang masa depan negara ini,” kata Budhisejati.
Mgr Ignatius Suharyo, ketua Konferensi Waligereja Indonesia, mendukung sikap Vox Point, mengatakan masalah sektarian merupakan tantangan nyata yang dapat merusak keragaman negara ini.
“Namun, kita harus berusaha terus menerus dan mengambil langkah konkrit menjaga semangat persaudaraan tetap utuh,” katanya. “Umat Katolik harus aktif dalam upaya ini.”
Lucius Karus, pengamat politik dari FORMAPPI, yang mempresentasikan pandangan suramnya hingga menjelang pemilu 2019, mengatakan politisi hampir pasti akan menggunakan sektarianisme sebagai sarana mendulang banyak suara.
Dia mengatakan dua faktor akan memicu ini. “Kandidat percaya pemilih dapat dengan mudah dimanipulasi oleh taktik seperti itu, dan tidak ada tindakan tegas yang akan diambil terhadap mereka jika mereka melakukannya,” katanya.
Lidya Natalia Sartono, kandidat yang akan bertarung dalam pilkada di Provinsi Kalimantan Barat, mengatakan dia bertekad menghindari politik sektarian.
“Komitmen yang sama tentu diharapkan dari semua kandidat,” katanya
“Penting sekali bahwa kita semua bekerja mendidik pemilih agar tidak mudah terprovokasi oleh mereka yang menggunakan isu sektarian selama pemilu,” tambahnya.
Sumber: indonesia.ucanews.com
Dalam pertemuan nasional tiga hari di Jakarta yang berakhir pada 1 Mei, Vox Point, sebuah organisasi awam Katolik yang terlibat dalam kegiatan sosiopolitik, membahas sikap apa yang harus diambil oleh umat Katolik di tengah iklim politik yang semakin pahit, yang banyak orang katakan berpotensi terus menciptakan perpecahan masyarakat Indonesia yang plural ini.
Kelompok awam Katolik lainnya – Pemuda Katolik – diharapkan membahas masalah yang sama pada pertemuan di Bali akhir pekan ini.
Pertemuan Vox Point, yang juga dihadiri oleh enam uskup dan beberapa pejabat pemerintah, berakhir dengan mempertegas kembali komitmen organisasi ini “menjalankan politik martabat” dan bekerja sama dengan orang lain termasuk kelompok lintas agama dalam memerangi sektarianisme.
“Kami dengan tegas menolak kampanye hitam yang secara negatif menargetkan agama, ras dan etnis dan menggunakan kebohongan dan penganiayaan,” demikian pernyataan sikap kelompok ini.
“Kami akan mendukung polisi, militer, pemerintah daerah dan badan-badan intelijen menegakkan hukum dengan tegas terhadap mereka yang ingin menghancurkan Pancasila,” tambahnya.
Kelompok ini menyerukan kepada para politisi Katolik meningkatkan integritas, menunjukkan kompetensi dan menjunjung nilai-nilai Katolik.
Ketua Vox Point Yohanes Handoyo Budhisejati mengatakan kepada ucanews.com sebuah tren yang mengganggu terus bermunculan dalam politik yang harus segera ditangani.
“Kami khawatir bahwa situasinya akan menimbulkan konflik sosial,” katanya.
Tahun lalu, mantan Gubernur Jakarta, yang adalah seorang Kristen, Basuki Tjahaja Purnama dipenjara karena penodaan agama setelah menggunakan ayat Alquran saat kampanye pilkada DKI Jakarta, dimana di saat yang sama Muslim garis keras menuntut pemilih memilih pemimpin seagama.
Pada 29 April, para pendukung Presiden Joko Widodo diancam oleh kelompok pesaing pada acara Car Free Day mingguan di Jakarta Pusat, yang memicu kemarahan publik.
Kelompok itu juga akan terus menggunakan segala cara mendukung kandidat yang menentang Presiden Joko Widodo, yang mereka beri label anti-Islam.
“Kami tidak mendukung calon tertentu, tetapi kami prihatin tentang masa depan negara ini,” kata Budhisejati.
Mgr Ignatius Suharyo, ketua Konferensi Waligereja Indonesia, mendukung sikap Vox Point, mengatakan masalah sektarian merupakan tantangan nyata yang dapat merusak keragaman negara ini.
“Namun, kita harus berusaha terus menerus dan mengambil langkah konkrit menjaga semangat persaudaraan tetap utuh,” katanya. “Umat Katolik harus aktif dalam upaya ini.”
Lucius Karus, pengamat politik dari FORMAPPI, yang mempresentasikan pandangan suramnya hingga menjelang pemilu 2019, mengatakan politisi hampir pasti akan menggunakan sektarianisme sebagai sarana mendulang banyak suara.
Dia mengatakan dua faktor akan memicu ini. “Kandidat percaya pemilih dapat dengan mudah dimanipulasi oleh taktik seperti itu, dan tidak ada tindakan tegas yang akan diambil terhadap mereka jika mereka melakukannya,” katanya.
Lidya Natalia Sartono, kandidat yang akan bertarung dalam pilkada di Provinsi Kalimantan Barat, mengatakan dia bertekad menghindari politik sektarian.
“Komitmen yang sama tentu diharapkan dari semua kandidat,” katanya
“Penting sekali bahwa kita semua bekerja mendidik pemilih agar tidak mudah terprovokasi oleh mereka yang menggunakan isu sektarian selama pemilu,” tambahnya.
Sumber: indonesia.ucanews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar