TIONGKOK - Di kalangan Katolik khawatir penyensoran lebih lanjut terhadap buku-buku rohani, termasuk buku-buku pengantar kitab suci yang disponsori negara, dan materi baik buku maupun di internet setelah pemerintah Cina melarang penjualan Alkitab secara online.
Mereka prihatin bahwa Beijing akan terus melakukan sensor internetnya yang sangat ketat terus masuk ke dalam dunia sastra religius.
Akademisi Hong Kong Ying Fuk-tsang yakin bahwa “era baru” Presiden Xi Jinping akan menargetkan sirkulasi online dari Alkitab, buku-buku agama dan publikasi keagamaan lainnya.
“Dengan penerapan peraturan yang direvisi berkaitan dengan urusan keagamaan, dunia agama di internet pasti akan menjadi target gelombang perbaikan berikutnya,” kata Ying, direktur Sekolah Tinggi Teologi Chung Chi di Chinese University of Hong Kong.
Pemerintah Cina telah lama mengawasi konten agama di situs web berbasis di Cina dan situs media sosial populer, Wiebo dan WeChat, secara teratur menutup akun pribadi dan kelompok yang memposting berita atau materi keagamaan.
Menurut sebuah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Cina untuk Urusan Agama, salah satu tugas terbesar di tahun-tahun mendatang adalah meningkatkan “Kekristenan dan teologi gaya Cina” dengan menafsirkan ulang dan menerjemahkan kembali Alkitab.
Dokumen yang berjudul “Principle for Promoting Chinese Christianity in China for the Next Five Years (2018-2022),” secara resmi diluncurkan di Nanjing, Cina Timur, pada 28 Maret. Beberapa pengguna media sosial mengatakan Alkitab mulai turun dari situs web pada 30 Maret.
Tanggal tersebut bertepatan dengan lonjakan besar-besaran dalam pencarian kata kunci “Alkitab” pada platform media sosial Cina, Weibo sehari sebelumnya, diikuti oleh titik terendah tajam ke nol pada 1 April, ketika kata itu telah disensor.
Dokumen itu juga menyatakan bahwa salah satu tugas utama untuk lima tahun ke depan adalah membangun Kristianitas dan teologi Cina untuk “secara sadar mengembangkan bakat belajar Alkitab demi meletakkan dasar yang kuat untuk menafsirkan kembali dan menerjemahkan kembali Alkitab atau menulis buku referensi.”
Sebagian umat Katolik khawatir bahwa buku-buku dan materi tentang Gereja juga dapat dijadikan sasaran karena kesalahan-kesalahan Revolusi Kebudayaan diulang.
Pihak berwenang memerintahkan bisnis e-commerce dan usaha mikro menghapus Alkitab dari daftar produk mereka dan melarang penjualannya mulai 30 Maret.
Taobao, Jingdong, Weidian, Dangdang, dan Amazon Cina tidak lagi menjual Alkitab. Buku-buku tentang Kekristenan juga telah diblokir dan izin usaha dari beberapa toko dibatalkan.
Toko belanja online Kristiani, Baojiayin, juga telah berhenti menjual Alkitab tetapi mengatakan secara legal dapat menjual buku referensi yang dapat membantu pelanggan membaca Alkitab.
John, seorang pengguna internet Katolik, mengatakan bahwa Alkitab tidak pernah diizinkan untuk dijual di toko-toko atau online di Cina daratan dan orang hanya dapat membeli versi resmi yang disetujui Gereja terbuka yang diakui pemerintah. Namun, pihak berwenang belum menegakkan hukum secara ketat di masa lalu.
“Langkah selanjutnya kemungkinan pembersihan dalam skala besar bahan-bahan Gereja di internet,” katanya.
John mengatakan kepada ucanews.com bahwa setelah rapat paripurna Kongres Rakyat Nasional dan Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Cina berakhir baru-baru ini, babak penindasan baru dimulai untuk Gereja-gereja Kristen.
“Seseorang merasa bahwa pihak berwenang terus meningkatkan penindasan terhadap agama, terutama terhadap Gereja Katolik dan Gereja Protestan,” katanya.
Ia percaya “sinisisasi agama” ini didukung oleh Xi dan khawatir bahwa Revolusi Kebudayaan akan kembali. “Bukankah itu mengulang kesalahan sejarah yang sama?” tanyanya.
Ying Akademik memposting artikel di Facebook-nya mengingat bahwa setelah Revolusi Kebudayaan ada kekurangan Alkitab yang serius di Tiongkok.
Ketika Deng Xiaoping mengunjungi AS tahun 1979, maka presiden, Jimmy Carter, memberi tahu Deng bahwa dia berharap Cina akan menerbitkan Alkitab, dan Deng memberinya respon positif.
Tahun 1980, mendiang Uskup Ding Guangxun mengatakan pada Konferensi Kristen Cina bahwa Cina akan memulai publikasi Alkitab.
Dewan Kristen Cina yang diakui pemerintah dilaporkan mencetak tiga juta salinan antara tahun 1980 dan 1986, tetapi masih belum cukup memenuhi permintaan.
Tahun 1988, Amity Foundation dan United Bible Societies bersama-sama mendirikan percetakan di Nanjing. Itu menjadi satu-satunya tempat di mana Alkitab bisa dicetak secara legal di Tiongkok, sementara Dewan Kristen Cina adalah satu-satunya agensi yang dapat mempublikasikan dan mendistribusikan Alkitab. Pada November 2016, yayasan mencetak 150 juta eksemplar.
Tahun 2004, ketika Undang-undang Lisensi Administratif diberlakukan, Tiongkok mempertahankan “persetujuan menerbitkan, mencetak, mengekspor, dan mendistribusikan Alkitab.”
Toko-toko buku di Cina diizinkan menjual buku-buku klasik agama tentang agama Buddha, Taoisme, dan Islam tetapi Alkitab Kristen saja tidak diperbolehkan, kata Ying.
Ketika menjadi pembicara di konferensi nasional tentang karya keagamaan tahun 2016, Xi mencatat bahwa para pejabat harus “dengan penuh semangat mempromosikan ajaran-ajaran agama di partai, pedoman dan kebijakan di internet, dan menyebarkan suara-suara positif.”
Sumber : indonesia.ucanews.com
Mereka prihatin bahwa Beijing akan terus melakukan sensor internetnya yang sangat ketat terus masuk ke dalam dunia sastra religius.
Akademisi Hong Kong Ying Fuk-tsang yakin bahwa “era baru” Presiden Xi Jinping akan menargetkan sirkulasi online dari Alkitab, buku-buku agama dan publikasi keagamaan lainnya.
“Dengan penerapan peraturan yang direvisi berkaitan dengan urusan keagamaan, dunia agama di internet pasti akan menjadi target gelombang perbaikan berikutnya,” kata Ying, direktur Sekolah Tinggi Teologi Chung Chi di Chinese University of Hong Kong.
Pemerintah Cina telah lama mengawasi konten agama di situs web berbasis di Cina dan situs media sosial populer, Wiebo dan WeChat, secara teratur menutup akun pribadi dan kelompok yang memposting berita atau materi keagamaan.
Menurut sebuah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah Cina untuk Urusan Agama, salah satu tugas terbesar di tahun-tahun mendatang adalah meningkatkan “Kekristenan dan teologi gaya Cina” dengan menafsirkan ulang dan menerjemahkan kembali Alkitab.
Dokumen yang berjudul “Principle for Promoting Chinese Christianity in China for the Next Five Years (2018-2022),” secara resmi diluncurkan di Nanjing, Cina Timur, pada 28 Maret. Beberapa pengguna media sosial mengatakan Alkitab mulai turun dari situs web pada 30 Maret.
Tanggal tersebut bertepatan dengan lonjakan besar-besaran dalam pencarian kata kunci “Alkitab” pada platform media sosial Cina, Weibo sehari sebelumnya, diikuti oleh titik terendah tajam ke nol pada 1 April, ketika kata itu telah disensor.
Dokumen itu juga menyatakan bahwa salah satu tugas utama untuk lima tahun ke depan adalah membangun Kristianitas dan teologi Cina untuk “secara sadar mengembangkan bakat belajar Alkitab demi meletakkan dasar yang kuat untuk menafsirkan kembali dan menerjemahkan kembali Alkitab atau menulis buku referensi.”
Sebagian umat Katolik khawatir bahwa buku-buku dan materi tentang Gereja juga dapat dijadikan sasaran karena kesalahan-kesalahan Revolusi Kebudayaan diulang.
Pihak berwenang memerintahkan bisnis e-commerce dan usaha mikro menghapus Alkitab dari daftar produk mereka dan melarang penjualannya mulai 30 Maret.
Taobao, Jingdong, Weidian, Dangdang, dan Amazon Cina tidak lagi menjual Alkitab. Buku-buku tentang Kekristenan juga telah diblokir dan izin usaha dari beberapa toko dibatalkan.
Toko belanja online Kristiani, Baojiayin, juga telah berhenti menjual Alkitab tetapi mengatakan secara legal dapat menjual buku referensi yang dapat membantu pelanggan membaca Alkitab.
John, seorang pengguna internet Katolik, mengatakan bahwa Alkitab tidak pernah diizinkan untuk dijual di toko-toko atau online di Cina daratan dan orang hanya dapat membeli versi resmi yang disetujui Gereja terbuka yang diakui pemerintah. Namun, pihak berwenang belum menegakkan hukum secara ketat di masa lalu.
“Langkah selanjutnya kemungkinan pembersihan dalam skala besar bahan-bahan Gereja di internet,” katanya.
John mengatakan kepada ucanews.com bahwa setelah rapat paripurna Kongres Rakyat Nasional dan Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Cina berakhir baru-baru ini, babak penindasan baru dimulai untuk Gereja-gereja Kristen.
“Seseorang merasa bahwa pihak berwenang terus meningkatkan penindasan terhadap agama, terutama terhadap Gereja Katolik dan Gereja Protestan,” katanya.
Ia percaya “sinisisasi agama” ini didukung oleh Xi dan khawatir bahwa Revolusi Kebudayaan akan kembali. “Bukankah itu mengulang kesalahan sejarah yang sama?” tanyanya.
Ying Akademik memposting artikel di Facebook-nya mengingat bahwa setelah Revolusi Kebudayaan ada kekurangan Alkitab yang serius di Tiongkok.
Ketika Deng Xiaoping mengunjungi AS tahun 1979, maka presiden, Jimmy Carter, memberi tahu Deng bahwa dia berharap Cina akan menerbitkan Alkitab, dan Deng memberinya respon positif.
Tahun 1980, mendiang Uskup Ding Guangxun mengatakan pada Konferensi Kristen Cina bahwa Cina akan memulai publikasi Alkitab.
Dewan Kristen Cina yang diakui pemerintah dilaporkan mencetak tiga juta salinan antara tahun 1980 dan 1986, tetapi masih belum cukup memenuhi permintaan.
Tahun 1988, Amity Foundation dan United Bible Societies bersama-sama mendirikan percetakan di Nanjing. Itu menjadi satu-satunya tempat di mana Alkitab bisa dicetak secara legal di Tiongkok, sementara Dewan Kristen Cina adalah satu-satunya agensi yang dapat mempublikasikan dan mendistribusikan Alkitab. Pada November 2016, yayasan mencetak 150 juta eksemplar.
Tahun 2004, ketika Undang-undang Lisensi Administratif diberlakukan, Tiongkok mempertahankan “persetujuan menerbitkan, mencetak, mengekspor, dan mendistribusikan Alkitab.”
Toko-toko buku di Cina diizinkan menjual buku-buku klasik agama tentang agama Buddha, Taoisme, dan Islam tetapi Alkitab Kristen saja tidak diperbolehkan, kata Ying.
Ketika menjadi pembicara di konferensi nasional tentang karya keagamaan tahun 2016, Xi mencatat bahwa para pejabat harus “dengan penuh semangat mempromosikan ajaran-ajaran agama di partai, pedoman dan kebijakan di internet, dan menyebarkan suara-suara positif.”
Sumber : indonesia.ucanews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar