ERMERA, Timor Leste -“Julio” adalah seorang guru fisika di sebuah sekolah menengah di Timor-Leste sebelum dia membuat serangkaian keputusan yang salah yang akhirnya menjebloskan dia ke penjara.
Dia bekerja di distrik Oekusi, dekat perbatasan dengan Indonesia. Semuanya berjalan baik, katanya, sampai dia membuat kesalahan dengan jatuh cinta pada seorang siswi berusia 14 tahun.
Cinta mereka begitu kuat sehingga ayah enam anak itu, yang menolak memberi nama aslinya, mengatakan bahwa hubungan mereka segera berkembang menjadi hubungan seksual.
“Saya jatuh cinta padanya, jadi tentu saja kami menjalin hubungan intim,” katanya kepada ucanews.com, ia menambahkan hubungan itu berlangsung selama empat bulan.
Namun, pada 2011 hubungan mereka diketahui oleh keluarga gadis itu. Mereka menuduh Julio memperkosa gadis muda itu.
“Saya diserang dan dipukuli oleh beberapa anggota keluarganya. Mereka juga melaporkan saya ke polisi,” katanya. “Kasus itu dibawa ke pengadilan dan pada Juni 2013 saya dijatuhi hukuman 12 tahun penjara karena pemerkosaan.”
Selama masa-masa awal di penjara, dia mengatakan bahwa dia menghabiskan sebagian besar waktunya dengan mengasihi dirinya sendiri dan bertanya-tanya bagaimana dia akan mengatasinya.
Tetapi, setelah beberapa pertemuan dengan para imam dan anggota Gereja lainnya di penjara, ia mulai mencoba mengikuti ajaran Alkitab.
Merasakan kehadiran Tuhan
Bulan Juni mendatang akan menandai tahun kelima Julio di Penjara Distrik Ermera di Gleno, sekitar 40 kilometer di barat Dili.
Alih-alih menghitung hari-harinya di penjara, ia mengatakan bahwa ia merefleksikan akibat yang telah ia timbulkan pada keluarganya, gadis dan keluarganya, sekolah tempat ia bekerja, masyarakat, dan Tuhan.
“Saya benar-benar menyesali apa yang saya lakukan. Saya selalu meminta pengampunan Tuhan untuk itu,” katanya.
Ketika dia mencurahkan lebih banyak waktu untuk pelajaran agama dan mengarahkan hatinya pada Tuhan, dia mengatakan dia dapat merasakan Tuhan memetakan jalan baginya untuk perjalanan hidupnya.
“Saya sedih karena saya meninggalkan keluarga saya untuk berjuang sendiri. Tapi saya juga senang karena (saya menyadari) penjara adalah cara Tuhan memberitahu saya untuk kembali kepada-Nya. Saya percaya Tuhan memiliki rencana untuk saya di masa depan,” katanya.
Dia mengatakan kesepian yang dia rasakan, dan rasa sakit karena hidup yang begitu jauh dari keluarganya, tidak sebanding dengan penderitaan Yesus, yang mati di kayu salib.
“Yesus disalibkan untuk saya. Penderitaannya jauh lebih besar daripada penderitaan saya,” katanya.
Bagi Julio, salib dan Paskah sekarang merupakan bagian sentral dari hidupnya. Untuk membantu mempertahankan keyakinannya dia tetap aktif dalam pelayanan penjara – bernyanyi dalam paduan suara, berdoa dengan narapidana lain, dan menghadiri Misa.
Maubere – juga bukan nama sebenarnya – adalah seorang katekis sebelum dia dipenjara. Pria berusia 47 tahun itu mengatakan dia tidak pernah membayangkan dia suatu hari akan dipenjara.
Masalahnya dimulai setelah dia memenangi pemilihan kepala desa. Dia menang dan berhasil memimpin selama empat tahun sebelum diberhentikan karena perselingkuhannya dengan seorang gadis 17 tahun terungkap, katanya.
“Saya dituduh memperkosa gadis itu. Saya dilaporkan ke polisi dan akhirnya tahun 2014 pengadilan menjatuhkan hukuman enam tahun penjara kepada saya,” kata Maubere, yang masih percaya dia adalah korban serangan bermotif politik oleh musuh-musuhnya di desa.
Alih-alih melawan, dia mengatakan dia tidak punya pilihan selain menerima putusan pengadilan.
“Saya tidak punya cukup uang untuk membayar pengacara demi kepentingan saya. Saya baru saja menerima keputusan mereka. Ini adalah cara Tuhan memberitahu saya untuk mengikuti jalan-Nya,” katanya.
Dia melanjutkan pekerjaannya sebagai katekis di penjara, membantu teman-teman sesama narapidana untuk semakin dekat dengan Tuhan dengan doa komunitas, pelajaran agama, sharing Alkitab dan Misa, yang diadakan seminggu sekali di sebuah kapel di dalam penjara.
Maubere membantu imam penjara seperti para Imam Yesuit dari gereja Maria dari Fatima di Railaco dan para imam di Gleno, yang secara teratur mengadakan Misa di sana dan mendengarkan pengakuan dosa di penjara.
“Saya juga membantu teman-teman saya untuk merefleksikan kembali perbuatan masa lalu mereka, sesuatu yang kami lakukan menjelang hari raya seperti Natal dan Paskah,” katanya.
Penjara bukan tempat menghakimi
Anibal Da Luz, 42, telah menjadi petugas di penjara selama 18 tahun. Dia mengatakan fasilitas penjara direnovasi ketika dia mulai bekerja di sana dan sekarang memiliki sekitar 90 tahanan, termasuk 17 wanita.
Hukuman para tahanan berkisar dari empat hingga 24 tahun, katanya. Pria dengan hukuman penjara terpanjang karena memperkosa dan membunuh seorang wanita. Narapidana termuda berusia 18 tahun, dan juga ada di sana karena memperkosa anak di bawah umur. Narapidana tertua adalah 60 tahun.
“Sebagian besar dari mereka dihukum karena pembunuhan, diikuti oleh kasus perkosaan atau mereka terlibat narkotika,” katanya.
Agustino de Fatima Salsinha, 43, melayani sebagai wakil kepala Penjara Ermera. Dia mengatakan narapidana didorong untuk melihat penjara sebagai kesempatan untuk mengubah hidup mereka dan bekerja menuju masa depan yang lebih cerah sambil melupakan masa lalu yang kelam.
Mereka menerima pelatihan keterampilan seperti pertukangan, pengelasan, pembuatan batu bata dan banyak lagi.
Karena banyak narapidana buta huruf, penjara mengajarkan mereka cara membaca dan menulis serta menyediakan bentuk pendidikan akademis lainnya.
“Kami juga menawarkan bimbingan rohani, seperti mengundang para imam untuk datang kepenjara,” kata Salsinha.
Dia mengatakan hanya berkhotbah saja tidak cukup: Para narapidana harus ditunjukkan bagaimana mereka dapat mengubah hidup mereka dan bersiap memasuki kembali masyarakat sebagai orang yang lebih baik.
“Jadi, ketika mereka meninggalkan penjara, mereka sudah memiliki keterampilan yang mereka membutuhkan untuk memulai kehidupan baru,” katanya.
Dia mengatakan itu penting memperlakukan narapidana sebagai orang yang mampu mengubah diri menuju ke kehidupan yang lebih baik.
“Kami di sini bukan untuk menghakimi mereka, tetapi membuat mereka menyadari bahwa mereka adalah manusia, orang-orang yang memiliki keyakinan,” kata Salsinha.
“Ini tugas kami membuat mereka menyadari kesalahan mereka dan membantu mereka menuju kehidupan yang lebih baik di masa depan,” tambahnya.
Sampai sekarang, Timor-Leste memiliki dua penjara. Yang terbesar adalah di Dili, yang memiliki lebih dari 560 narapidana. Penjara ketiga direncanakan akan segera dibangun di bagian barat Timor-Leste, dekat perbatasan Indonesia.
Salsinha mengatakan bahwa jumlah tahanan nasional relatif kecil dibandingkan dengan penduduk Timor-Leste sebesar 1,2 juta, sumber daya negara sedang direntangkan.
Penjara Dili lebih sulit dari Ermera karena memiliki lebih banyak tahanan, katanya, ia menambahkan perlu lebih banyak staf untuk meningkatkan keamanan dan memastikan program yang dirancang untuk meningkatkan kehidupan narapidana dilakukan dengan benar.
“Seperti yang saya katakan, kami mempersiapkan orang-orang untuk tahap berikutnya dalam hidup mereka. Kami hanya perlu beberapa personil lagi untuk membantu kami melaksanakannya,” kata Salsinha.
(Sumber:http://indonesia.ucanews.com/2018/04/02/penjara-bawa-napi-timor-leste-lebih-dekat-kepada-tuhan/)
Dia bekerja di distrik Oekusi, dekat perbatasan dengan Indonesia. Semuanya berjalan baik, katanya, sampai dia membuat kesalahan dengan jatuh cinta pada seorang siswi berusia 14 tahun.
Cinta mereka begitu kuat sehingga ayah enam anak itu, yang menolak memberi nama aslinya, mengatakan bahwa hubungan mereka segera berkembang menjadi hubungan seksual.
“Saya jatuh cinta padanya, jadi tentu saja kami menjalin hubungan intim,” katanya kepada ucanews.com, ia menambahkan hubungan itu berlangsung selama empat bulan.
Namun, pada 2011 hubungan mereka diketahui oleh keluarga gadis itu. Mereka menuduh Julio memperkosa gadis muda itu.
“Saya diserang dan dipukuli oleh beberapa anggota keluarganya. Mereka juga melaporkan saya ke polisi,” katanya. “Kasus itu dibawa ke pengadilan dan pada Juni 2013 saya dijatuhi hukuman 12 tahun penjara karena pemerkosaan.”
Selama masa-masa awal di penjara, dia mengatakan bahwa dia menghabiskan sebagian besar waktunya dengan mengasihi dirinya sendiri dan bertanya-tanya bagaimana dia akan mengatasinya.
Tetapi, setelah beberapa pertemuan dengan para imam dan anggota Gereja lainnya di penjara, ia mulai mencoba mengikuti ajaran Alkitab.
Merasakan kehadiran Tuhan
Bulan Juni mendatang akan menandai tahun kelima Julio di Penjara Distrik Ermera di Gleno, sekitar 40 kilometer di barat Dili.
Alih-alih menghitung hari-harinya di penjara, ia mengatakan bahwa ia merefleksikan akibat yang telah ia timbulkan pada keluarganya, gadis dan keluarganya, sekolah tempat ia bekerja, masyarakat, dan Tuhan.
“Saya benar-benar menyesali apa yang saya lakukan. Saya selalu meminta pengampunan Tuhan untuk itu,” katanya.
Ketika dia mencurahkan lebih banyak waktu untuk pelajaran agama dan mengarahkan hatinya pada Tuhan, dia mengatakan dia dapat merasakan Tuhan memetakan jalan baginya untuk perjalanan hidupnya.
“Saya sedih karena saya meninggalkan keluarga saya untuk berjuang sendiri. Tapi saya juga senang karena (saya menyadari) penjara adalah cara Tuhan memberitahu saya untuk kembali kepada-Nya. Saya percaya Tuhan memiliki rencana untuk saya di masa depan,” katanya.
Dia mengatakan kesepian yang dia rasakan, dan rasa sakit karena hidup yang begitu jauh dari keluarganya, tidak sebanding dengan penderitaan Yesus, yang mati di kayu salib.
“Yesus disalibkan untuk saya. Penderitaannya jauh lebih besar daripada penderitaan saya,” katanya.
Bagi Julio, salib dan Paskah sekarang merupakan bagian sentral dari hidupnya. Untuk membantu mempertahankan keyakinannya dia tetap aktif dalam pelayanan penjara – bernyanyi dalam paduan suara, berdoa dengan narapidana lain, dan menghadiri Misa.
Maubere – juga bukan nama sebenarnya – adalah seorang katekis sebelum dia dipenjara. Pria berusia 47 tahun itu mengatakan dia tidak pernah membayangkan dia suatu hari akan dipenjara.
Masalahnya dimulai setelah dia memenangi pemilihan kepala desa. Dia menang dan berhasil memimpin selama empat tahun sebelum diberhentikan karena perselingkuhannya dengan seorang gadis 17 tahun terungkap, katanya.
“Saya dituduh memperkosa gadis itu. Saya dilaporkan ke polisi dan akhirnya tahun 2014 pengadilan menjatuhkan hukuman enam tahun penjara kepada saya,” kata Maubere, yang masih percaya dia adalah korban serangan bermotif politik oleh musuh-musuhnya di desa.
Alih-alih melawan, dia mengatakan dia tidak punya pilihan selain menerima putusan pengadilan.
“Saya tidak punya cukup uang untuk membayar pengacara demi kepentingan saya. Saya baru saja menerima keputusan mereka. Ini adalah cara Tuhan memberitahu saya untuk mengikuti jalan-Nya,” katanya.
Dia melanjutkan pekerjaannya sebagai katekis di penjara, membantu teman-teman sesama narapidana untuk semakin dekat dengan Tuhan dengan doa komunitas, pelajaran agama, sharing Alkitab dan Misa, yang diadakan seminggu sekali di sebuah kapel di dalam penjara.
Maubere membantu imam penjara seperti para Imam Yesuit dari gereja Maria dari Fatima di Railaco dan para imam di Gleno, yang secara teratur mengadakan Misa di sana dan mendengarkan pengakuan dosa di penjara.
“Saya juga membantu teman-teman saya untuk merefleksikan kembali perbuatan masa lalu mereka, sesuatu yang kami lakukan menjelang hari raya seperti Natal dan Paskah,” katanya.
Penjara bukan tempat menghakimi
Anibal Da Luz, 42, telah menjadi petugas di penjara selama 18 tahun. Dia mengatakan fasilitas penjara direnovasi ketika dia mulai bekerja di sana dan sekarang memiliki sekitar 90 tahanan, termasuk 17 wanita.
Hukuman para tahanan berkisar dari empat hingga 24 tahun, katanya. Pria dengan hukuman penjara terpanjang karena memperkosa dan membunuh seorang wanita. Narapidana termuda berusia 18 tahun, dan juga ada di sana karena memperkosa anak di bawah umur. Narapidana tertua adalah 60 tahun.
“Sebagian besar dari mereka dihukum karena pembunuhan, diikuti oleh kasus perkosaan atau mereka terlibat narkotika,” katanya.
Agustino de Fatima Salsinha, 43, melayani sebagai wakil kepala Penjara Ermera. Dia mengatakan narapidana didorong untuk melihat penjara sebagai kesempatan untuk mengubah hidup mereka dan bekerja menuju masa depan yang lebih cerah sambil melupakan masa lalu yang kelam.
Mereka menerima pelatihan keterampilan seperti pertukangan, pengelasan, pembuatan batu bata dan banyak lagi.
Karena banyak narapidana buta huruf, penjara mengajarkan mereka cara membaca dan menulis serta menyediakan bentuk pendidikan akademis lainnya.
“Kami juga menawarkan bimbingan rohani, seperti mengundang para imam untuk datang kepenjara,” kata Salsinha.
Dia mengatakan hanya berkhotbah saja tidak cukup: Para narapidana harus ditunjukkan bagaimana mereka dapat mengubah hidup mereka dan bersiap memasuki kembali masyarakat sebagai orang yang lebih baik.
“Jadi, ketika mereka meninggalkan penjara, mereka sudah memiliki keterampilan yang mereka membutuhkan untuk memulai kehidupan baru,” katanya.
Dia mengatakan itu penting memperlakukan narapidana sebagai orang yang mampu mengubah diri menuju ke kehidupan yang lebih baik.
“Kami di sini bukan untuk menghakimi mereka, tetapi membuat mereka menyadari bahwa mereka adalah manusia, orang-orang yang memiliki keyakinan,” kata Salsinha.
“Ini tugas kami membuat mereka menyadari kesalahan mereka dan membantu mereka menuju kehidupan yang lebih baik di masa depan,” tambahnya.
Sampai sekarang, Timor-Leste memiliki dua penjara. Yang terbesar adalah di Dili, yang memiliki lebih dari 560 narapidana. Penjara ketiga direncanakan akan segera dibangun di bagian barat Timor-Leste, dekat perbatasan Indonesia.
Salsinha mengatakan bahwa jumlah tahanan nasional relatif kecil dibandingkan dengan penduduk Timor-Leste sebesar 1,2 juta, sumber daya negara sedang direntangkan.
Penjara Dili lebih sulit dari Ermera karena memiliki lebih banyak tahanan, katanya, ia menambahkan perlu lebih banyak staf untuk meningkatkan keamanan dan memastikan program yang dirancang untuk meningkatkan kehidupan narapidana dilakukan dengan benar.
“Seperti yang saya katakan, kami mempersiapkan orang-orang untuk tahap berikutnya dalam hidup mereka. Kami hanya perlu beberapa personil lagi untuk membantu kami melaksanakannya,” kata Salsinha.
(Sumber:http://indonesia.ucanews.com/2018/04/02/penjara-bawa-napi-timor-leste-lebih-dekat-kepada-tuhan/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar